Kolom Eko Kuntadhi: 2 WAJAH PENANGANAN TERORIS

Dulu setelah polisi menangkap gerombolan teroris, berita disebar besar-besaran. Bahkan ada sebuah penangkapan yang disiarkan langsung oleh stasiun TV. Para petugas berlarian membawa senjata. Mengepung sebuah rumah. Dar, der, dor! Mirip film bioskop. Gunanya untuk menciptakan rasa aman masyarakat. Tuh, lihat petugas kita gak takut. Teroris berhasil diringkus atau dikalahkan.

Mereka bergerak seperti Janggo atau detektif Conan.

Guna yang lain, untuk memberikan gambaran pada dunia bahwa Indonesia serius memberantas teroris. Bantuan negara majupun akhirnya turun untuk program anti-terorisme. Asyik.

Apa hasilnya? Terorisme terus membuat ulah. Bahkan skalanya makin besar. Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Mariot, Bom Kedutaan Filipina, Bom Kedutaan Australia. Pengejaran dan penangkapan teroris yang disiarkan besar-besaran rupanya memantik kaum radikal setengah jadi untuk makin radikal. Mereka makin serius jadi serigala jadi-jadian.

Sayangnya aparat dulu gak dilengkapi perangkat hukum memadai. Mereka kadang kikuk dan khawatir dituding melanggar hukum.

Sekarang, penanganan terhadap terorisme jauh berbeda. Perangkat hukum disiapkan dalam UU anti-terorisme. Pemerintah juga mengeluarkan aturan mengenai Ormas yang melarang Ormas radikal ada di Indonesia. Dengan dasar itu HTI dibubarkan.

Kini, aparat gak lagi gembar-gembor ketika menangkap teroris. Mereka menghindari sorotan media. Padahal kini, dengan berlandaskan UU anti-teroris penanganannya jauh lebih keras. Pembasmian gerombolan ini dilakukan secara besar-besaran.

Bedanya, yang ditampilkan ke publik justru suasana kemanusiaan. Ingat, kan, video yang viral sehabis kasus Mako Brimob. Isinya polisi sedang menyuapi para teroris yang tangannya diborgol. Saat itu kaum serigala jadi-jadian ada di dalam bus, mau dipindahkan ke Nusakambangan.

Sebagian orang misuh-misuh menonton video itu. Ini polisi gimana, sih. Baru saja teman-temannya di Mako Brimob di sembelih oleh orang biadab ini. Kok, malah disuapin? Lemah banget, sih?

“Kok, negara takut pada teroris?” Ujar sebagian teman lain.

Padahal, di balik itu semua, penanganan kepada terorisme jauh lebih keras dan serius. Pasca kejadian Mako, ratusan orang gerombolan radikal ditangkap. Mereka dikejar sampai ke lubang tikusnya.

Pelaku kerusuhan Mako juga dipindahkan ke Nusakambangan. Sebuah lokasi yang jauh dari mata media.

Artinya, apa yang tampak dan viral di masyarakat, berbeda jauh dengan apa yang terjadi di lapangan. Yang terlihat di publik penanganan terhadap teroris kini lebih lunak. Bahkan bisa dikesankan aparat takut pada kaum radikal.

Padahal sebaliknya. Kini penanganannya semakin jelas, serius dan keras. Aparat terus merangsek ke semua sel-sel mereka. Kalau perlu dengan cara dilumpuhkan. Teroris makin kejepit.

Baru saja sel-selnya tumbuh, aparat sudah langsung memberangus. Dikejar. Dihantam. Sebab UU membolehkan langkah seperti itu.

Akibat penanganan yang keras ini, gerombolan mereka dendam pada aparat. Lihat saja. Jika dulu sasaran kekerasan mereka adalah rakyat biasa. Kini sasaran mereka selalu polisi. Penanganan yang keras membangkitkan kemarahan teroris. Mereka mau membalas dendam. Polisi yang dijadikan target.

Sekarang, kasus terorisme yang terjadi gak segila sebelumnya. Dulu gerombolan itu seperti leluasa merencanakan serangan. Aksinya menghasilkan korban dalam jumlah banyak.

Artinya, mereka bisa merencanakan aksi berbulan-bulan tanpa tercium aparat. Kasus Bom Bali maupun Bom Marriot gak mungkin spontan. Siapa yang meracik bom, siapa yang merencanakan, siapa yang jadi pengantin, kapan waktunya, pasti dipikirkan dengan detil. Dengan pengamatan dan survei lapangan berkali-kali. Lalu, duaarr!

Nah, selama proses itu, aksi mereka gak terdeteksi. Ketika tertangkap, jaringan mereka juga gak semuanya bisa diberangus. Makanya, gak lama berselang ada kejadian besar lagi.

Beda dengan sekarang. Kebanyakan aksi terorisme sporadis saja. Pelaku tunggal, sisa sel tidur yang tidak terdeteksi. Kejadian terakhir yang agak terkoordinasi adalah Bom Surabaya. Terkoordinasi waktunya. Bukan aksinya.

Penangkapan gerombolan teroris juga makin sering terjadi. Bedanya, tidak digembargemborkan seperti dulu. Ada berita tapi sekilas saja.

Dengan gambaran seperti itu, saya menangkap makna pembebasan Abubakar Baasyir kemarin. Pembebasan itu hanya tontonan yang dikonsumsi media. Sama seperti video viral berisikan polisi sedang menyuapi teroris di dalam bus. Itu hanya tampak luar saja.

Menangani gerombolan serigala gila memang gak bisa sradak-sruduk. Gak bisa grasa-grusu. Harus difikirkan strategi yang matang. Apalagi selama 10 tahun pemerintahan yang lalu membiarkan ideologi agama berlandaskan kekerasan tumbuh subur. Kini akarnya mulai merambat. Mulai membuat repot.

Pemerintahan Jokowi bersama Kapolri Tito Karnavian sadar, semua potensi terorisme harus diberangus sejak dini. Caranya bukan dengan gagah-gagahan di depan TV. Bukan dengan gembar-gembor di media. Itu justru akan semakin mengeraskan rakyat yang keracunan ideologi radikal. Lalu, mereka berhasil menciptakan zombie baru.

Caranya, di depan kamera aparat dan pemerintah terlihat sedikit lembut. Pendekatannya manusiawi. Tapi di lapangan, ditangani dengan keras. Begitulah.

Bagi saya pembebasan Baasyir adalah bagian dari strategi ini. Strategi besar menangani gerombolan serigala jadi-jadian agar gak makin gila. Menangani gerombolan gila, gak bisa memakai cara-cara konvensional.

Lagi pula, Jokowi itu Presiden. Tindakannya diambil setelah mendapat masukan dari berbagai pihak. Termasuk intelejen. Strategi lainnya, TNI dan Polri bolak balik menggelar latihan perang kota. Mereka mencium adanya potensi serangan berbahaya dari gerombolan teroris di Asia Tenggara.

“Melepaskan Baasyir itu tanda pemerintah takut pada tekanan teroris. Kalau begini, saya mau Golput,” teriak seorang teman.

Sebetulnya mau Golput atau masuk PKS, itu terserah mereka saja. Gak ada yang larang. Kalau mereka mau pindah jadi pengikut Bahar Smith juga gak apa-apa. Saya cuma ingin menyampaikan, dalam menangani teroris ini, apa yang tampak di media bisa jauh berbeda dengan apa yang dilakukan di lapangan. Kadang dibutuhkan kecerdasan untuk memahami gambaran utuhnya.

“Beda dengan Prabowo, ya, mas. Di depan pendukungnya dia joget. Eh, di forum debat Capres yang formal dia joget juga,” ujar Bambang Kusnadi.

“Iya, mbang. Karena Prabowo yakin, dia bisa menang Pilpres hanya dengan joged,” jawab Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.