Kolom Eko Kuntadhi: ANAK AMIEN RAIS MELAWAN AHOK

Saya belum nonton film A Man Called Ahok (AMCA). Apalagi film Hanum dan Rangga. Waktu diajak nonton film soal Ahok kemarin, waktunya bertabrakan dengan konser Guns and Roses. Saya memilih ke GBK ketimbang ke bioskop. Reaksi teman-teman yang sudah nonton, saya rasa campuran antara mengapresiasi film itu dengan kekaguman pada sosok Ahok. Untuk penilaian pada film sebagai karya seni, mungkin ada semacam bias yang manis.

Tapi justru bias penilaian itulah yang menjadi kekuatan AMCA, sehingga ramai-ramai dikunjungi penonton.

Saya yakin, sebagian besar penonton film AMCA adalah Ahoker. Mereka bukan hanya ingin menyaksikan film sebagai hiburan. Tapi bisa jadi semacam peneguhan sikap. Bisa juga sebagai ekspresi perlawanan yang terus menerus dan lembut terhadap perlakuan tidak adil kepada Ahok.




Atau, semacam peneguhan bahwa mereka tetap berdiri dan mengagumi Ahok, sekalipun tokoh panutannya itu tidak lagi ada dalam pusaran politik.

Suasana batin penonton yang menyaksikan film AMCA berbeda dengan suasana hati orang yang datang ke bioskop untuk menonton film A Star is Born atau Lala Land. Yang pertama menonton untuk berbagai motivasi yang bercampur. Sementara penonton Lala Land atau A Star is Born membeli tiket bioskop untuk menikmati sebuah film. Ya, hanya untuk menonton film.

Kita tidak harus merasa menjadi bagian pecinta Jazz ketika memilih film Lala Land, misalnya. Atau tidak harus menyukai clasic rock saat menikmati A Star is Born. Kita tidak mengindentifikasi diri kita dengan sebuah komunitas dan punya ikatan dengan mereka.

Sementara para penonton AMCA saya rasa adalah orang yang punya kesamaan, setidaknya kesamaan pandangan pada sebuah peristiwa politik. Dengan dorongan itulah mereka datang ke bioskop.

Apakah salah? Tentu tidak. Sah-sah saja orang punya beragam motivasi menyaksikan sebuah karya seni. Apalagi harus diakui secara marketing tim di belakang AMCA cukup bagus. Menentukan waktu tayang yang pas, di tengah suasana politik yang mulai menghangat, adalah pilihan yang cerdik.




Akan sangat berbeda, misalnya, jika film itu diputar ketika Ahok sudah keluar penjara.

Bagaimana soal film Hanum dan Rangga? Mestinya ini hanyalah kisah menye-menye seorang perempuan dan runahtangganya. Jika saja dinikmati hanya sebagai sebuah film, mungkin kelasnya gak jauh beda dengan film kisah percintaan ala syar’i. Seperti dengan Kau Pinang Aku dengan Bismillah atau Ayat-ayat Cinta 2.

Sayangnya, orang di belakang film itu ada Hanum Rais. Tokoh ini baru saja jadi bahan bullyan karena mewek menangisi Ratna Sarumpaet yang babak belur, padahal habis dioperasi plastik. Hanum mendadak kontroversial karena ikut mendramatisir dan berada dalam pusaran hoax.

Akhirnya ada bias Hanum Rais terhadap apresiasi orang pada film Hanum dan Rangga. Ini gak bisa dihindari.

Apalagi, ketika tanggal pemutaran perdana film ini dimajukan yang tadinya 15 November jadi 8 November, sama persis dengan tanggal pemutaran AMCA. Secara sadar H&R ingin berhadap-hadapan dengan AMCA di layar bioskop.

Targetnya sama. Diharapkan orang menonton H&R bukan hanya datang untuk menyaksikan sebuah film. Tetapi ada ideologi ala 212 yang melatarbelakanginya. Ditambah seruan PAN yang mewajibkan kadernya nonton H&R, makin kentara bahwa H&R tidak ingin ditempatkan sebagai sekadar film rumah tangga. Tapi ada bau-bau politiknya.




Yang mereka gak sadar, emang Hanum siapa? Dalam konstalasi demo 212 saja, Hanum bukan siapa-siapa. Dia cuma anak bawang, puteri seorang Amien Rais. Kesannya Hanum dipakaikan baju kedombrongan ketika H&R menggarap emosi 212 untuk menarik penonton. Bukankah ada sebuah film berlatar demo 212 juga gagal di pasaran?

Seandainya H&R dipromosikan biasa saja, gak usah mikirin afiliasi politik penontonnya, mungkin bisa membantu menggaet orang ke bioskop. Emak-emak arisan yang rempong dan butuh hiburan kisah cinta bergenre syar’i atau pelajar dan mahasiswi liqo bisa jadi target pasar.

Gak usah didekat-dekatkan dengan afiliasi politik. Gak usah dihadap-hadapkan dengan AMCA yang memang kontennya bercerita tentang seorang tokoh politik. Perlakukan saja film ini sebagai film menye-menye biasa. Mungkin akan direspon lebih baik.

Sayang, pengelola di balik H&R nafsunya terlalu gede. Akibatnya menonton film drama rumah tangga jadi ada rasa horor-horornya. Soalnya, gedung bioskop sepi agak menakutkan.

“Mas, saya kok, kasian sama Rio Dewanto, ya,” ujar Abu Kumkum. Sungguh saya gak ngerti apa maksud omongan bakul minyak telon oplosan ini.




“Maksudmu apa, Kum?”

“Di film Hanum dan Rangga, Rio berperan sebagai suaminya Hanum. Dia jadi menantunya Amien Rais. Di kehidupan nyata Rio jadi menantunya Ratna Sarumpaet. Kasian, kan.”

Oalahh… tukang minyak telon ini, lagaknya sok mengasihani suami Atiqah Hasiholan. “Belagu, lu…”

“Yang lebih ngenes Mas Eko, Kum,” Bambang Kusnadi menimpali. “Nonton filmnya juga belum, sok bikin ulasan.”

Kali ini saya merasa ditampar Bambang Kusnadi.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.