Kolom Eko Kuntadhi: DI FREEPORT INDONESIA MENANG BANYAK

Ngapain harus membayar US$3,5 milyar untuk 51% saham Freeport Indonesia? Tunggu saja sampai 2021, ketika kontrak selesai. Lalu kita bisa kuasai FI.

 

Begitu kata teman saya. Dia seorang debt collector. Mungkin karena kebiasaan menyita kendaraan sembarangan, jadi cara berfikirnya suka main rampas saja. Teman tadi gak tahu, bahwa soal jangka waktu kapan kontrak Freeport berakhir masih jadi perdebatan. Kontrak Karya II FI memang habis pada 2021. Tapi jangan lupa, di akhir masa jabatan SBY keluar lagi ijin perpanjangan sampai 2041.

Nah, ijin perpanjangan itu memang mensyaratkan beberapa hal.

Dilalah, syarat itu yang tidak pernah dijalani FI. Jadi, pemerintah Indonesia berpegang bahwa kontrak FI habis pada 2021. Sementara FI ngotot kontraknya baru selesai pada 2041. Pegangannya, ya surat yang keluar di jaman SBY itu.

Jika pemerintah mau ambil alih begitu saja, pasti ada perdebatan soal kapan kontrak brrakhir. Kalau mau ngotot ujung-ujungnya akan sampai pada Mahkamah Internasional. Prosesnya pasti gak sebentar. Biayanya mahal. Belum lagi kalau pemerintah kalah, bisa gigit jari. Gak dapat apa-apa.

“Ngapain mengikuti aturan hukum. Papua milik Indonesia, kalau mau diambil, terserah kita dong?” katanya lagi.

Dia gak tahu jika pengusaha sangat butuh kepastian hukum. Apalagi pengusaha asing. Mereka datang ke sini membawa modal, membangun usaha. Dampaknya negara mendapat pemasukan pajak, masyarakat bisa bekerja. Ekonomi berputar.

Gimana jika pengusaha asing gak percaya dengan pemerintah? Mereka kuatir sewaktu-waktu usahanya bisa dirampas begitu saja. Ya, mereka gak akan mau berinvestasi. Atau yang sudah menanamkan investasi malah kekuar lagi. Lalu memilih Vietnam, China atau Thailand untuk membangun bisnisnya.

Siapa yang rugi? Kitalah. Menjaga kepercayaan inveator itu penting. Gak bisa menggunakan logika bakar rumahnya lalu rampok isinya. Itu logika ngawur yang cuma dimiliki preman. Negara ini gak bisa dijalani dengan cara preman seperti itu.

Ok, katakanlah ketika persidangan Indonesia menang. Kontrak FI habis pada 2021. Lalu, gimana?

Pertama, Indonesia harus membayar seluruh aset FI yang ada. Soal ini dibahas dalam klausul perjanjian. Mulai dari instalasi listrik di Timika, jalan, dan seluruh aset yang tidak mungkin digondol. Menurut data terakhir, total aset FI senilai US$6 milyar. Jumlah itulah yang harus kita keluarkan untuk mengusir FI dari Indonesia.




Ke dua, penambangan Freeport itu skala raksasa. Teknologinya maju. Belum ada perusahaan tambang di Indonesia yang sanggup mengoperasikan alat-alat penambangan milik FI. Kalau aset itu kita ambil, sudah harganya mahal, eh gak bisa dioperasikan juga. Jadi bangkai.

Lho, kan bisa sewa perusahaan penambangan lain untuk mengoperasikan?

Butuh waktu lagi. Belum tentu juga mulus dalam proses operasi. Mungkin untuk mendapatkan operator baru butuh 5 tahunan. Lalu, bagaimana nasib puluhan ribu karyawan FI yang sebagian besar orang Indonesia? FI pasti ogah bayar pesangon karena alasannya harta dia dirampas oleh Indonesia. Terus, siapa yang tangani masalah karyawan itu? Siapa yang handle kebutuhannya nanti?

Jika kita tunggu sampai konyrak FI habis, kita harus keluarkan uang US$6 milyar membayar aset FI. Itu juga perusahaan belum tentu bisa jalan. Sementara puluhan ribu rakyat Indonesia kehilangan pekerjaan.

Belum lagi dampak kaburnya investor asing akibat iklim investasi yang buruk. Ruginya bisa dobel-dobel. Berbeda dengan langkah divestasi 51,2% ini. Duit yang dikeluarkan hanya US$3,5 milyar. FI tetap normal beroperasi. Karyawan terus bekerja. Iklim inveatasi gak ada masalah karena ivestasi adalah soal biasa dalam bisnis. Dan Indonesia punya wewenang maksimal di FI karena pemegang saham mayoritas.

Jadi, tahu kan, bedanya antara langkah cerdas dan langkah preman. Preman cuma mengandalkan otot dan emosi. Ujung-ujungnya amsiong. Sudah banyak musuhnya, gak bisa untung pula. Sementara orang normal percaya pada akal sehatnya.

“Mas, kok masih ada yang ngoceh Indonesia malah rugi mengambil Freeport?”

Biarin aja. Nanti juga mereka sariawan.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.