Kolom Eko Kuntadhi: DICARI KAUM MINDER

Pertama, temukanlah orang-orang minder. Ini adalah bahan baku yang cocok untuk mencetak para ekstrimis. Keminderan merupakan syarat utama untuk membuat mereka menjadi seperti mercon: Mudah terbakar dan meledak.

Orang yang percaya diri, dengan keyakinan mampu bersaing, akan sulit dibentuk dan dipengaruhi. Mereka percaya pada kualitas dirinya. Mereka yakin bahwa Tuhan menganugerahkan otaknya untuk dipakai berfikir. Bukan tempat mengumpulkan kebencian.

Setelah orang-orang minder ini terkumpul, jauhkanlah mereka dari ilmu pengetahuan. Bunuh rasionalitas mereka. Caranya dengan mengajarkan agama yang doktriner. Agama gak perlu dipikirin. Hujah gak perlu ditelaah.




Maka diciptakanlah slogan ‘kembali pada Quran dan hadist’. Quran menurut tafsir siapa? Hadist menurut ulama yang mana?

Nah, ini. Gak perlu ada pertanyaan itu. Quran ya, Qur’an. Gak usah menurut tafsir siapa-siapa, kata mereka. Hadist ya, hadist. Gak perlu menurut ulama mana.

Mereka percaya itu, padahal dengan begitu mereka sudah memposisikan pemahamannya tentang Quran sebagai Qur’an itu sendiri. Mereka menekuk Qur’an hanya sebatas isi kepalanya saja.

Mereka memposisikan seperti Nabi yang paling tahu soal Qur’an. Makanya jargon kembali pada Quran dan hadist, kedengarannya enak dan benar. Tapi di dalamnya terselip ajakan jangan berfikir. Terima sajalah semuanya. “Jika kamu berfikir, kamu berani menentang kitab suci?”

Setelah otaknya diistirahatkan, lalu mereka disematkan dengan simbol-simbol agama. Pakaian. Bendera. Jenggot. Jidat. Bahasa. Semuanya. Itu membangkitkan percaya dirinya.

Bermodal kepercayaan diri yang artifisial itulah mereka digerakkan. Eksploitasi rasa minder membuat mereka mudah mencurigai siapa saja di luar diri dan kelompoknya.

Sementara rasa percaya diri yang ditempelkan serampangan akan membuat mereka berani menuding-nuding siapa saja yang berbeda dengan mereka: Sesat, kafir, bidah, sampai halal darahnya. Kepercayaan diri yang absurd itu bisa diubah jadi kekuatan bengis.

Orang yang tadinya minder, lalu ditempelkan rasa percaya diri seolah sedang membela agama akan tampil menjadi daya perusak yang dahsyat. Keminderannya, rasa kalah bersaing, dan kecemburuan sosial diolah dengan argumen-argumen agama. Jadilah mereka monster.

Repotnya susah membuka kesadaran mereka. Sebab isi kepalanya sudah dikunci. Sudah dikepung kecurigaan. Sudah penuh kebencian dengan dunia di luar dirinya.

Mereka menolak kemajuan. Tidak percaya pada modernitas. Tujuan hidupnya justru tidak berjalan ke masa depan. Mereka ingin menarik kehidupan ke masa lalu. Ke Abad Pertengahan.

Orang-orang seperti mereka memandang sejarah sedang berjalan menuju kerusakan. Masa depan sedang berjalan menuju kehancuran. Sementara kita melihat masa depan sedang berjalan menuju penyempurnaan.

Sumpah. Hidup di jaman ini jauh lebih baik dibanding hidup di masa lalu. Lihat sekelilingmu. Bandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Pelajari sejarah. Bandingkan dengan 100 tahun lalu. Apalagi dibandingkan dengan masa 1000 tahun lalu.

Bagaimana orang bisa tertarik hidup di masa lalu? Mengajak kita mendirikan khilafah? Sebab mereka selalu mencurigai masa depan. Sebetulnya bukan curiga tapi mereka minder menghadapi masa depan.

“Orang seperti itu cuma ada dua kategori, kalau gak minder, ya over acting, mas,” ujar Bambang Kusnadi. “Aku yang cuma bakul bubur aja pede, kok.”

“Pede kok jomblo?” celetuk Abu Kumkum.

“Saya cuma kalah bersaing sama Hamish Daud, kang,” jawab Bambang. Kali ini suaranya begitu pelan.








One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: DICARI KAUM MINDER

  1. Cari orang minder . . . kemudian dijadikan mercon . . wow, analisa dan penjelasannya sesuai sekali. Psikologinya mantap.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.