Kolom Eko Kuntadhi: DIPECAT KARENA TIDAK MAU MEMILIH KANDIDAT DARI PKS

Pilkada memakan korban. Seorang guru di SDIT Darul Maza, Bekasi, merasa Pemilu itu mengusung azas langsung, umum, bebas dan rahasia. Tapi tidak begitu dengan tempatnya bekerja. Bagi Yayasan Darul Maza, sekolah dibuat untuk memenangkan PKS.

Akun Andriyanto Putra Valora menuliskan begini (Lihat di SINI).

Semua orang yang bekerja pada institusi tersebut wajib memilih calon dari PKS. Meskipun calon itu tidak punya kualifikasi sekalipun, wajib dipilih. Sebab karyawan atau guru di sekolah itu adalah budak yang pilihan politiknya sudah diambil alih pihak sekolah.




Jadilah seorang ibu guru dipecat hanya melalui group WA. Dia dipecat hanya karena tidak mau memilih pasangan Cagub dan Cawagub dari PKS. Dia juga tidak mau memilih pasangan Cawalikot dari PKS.

Ibu guru cerdas ini punya hati nurani dan penilaian sendiri mengenai siapa pempimpin terbaik yang harus dipilih. Dia juga tahu, bahwa setiap pilihan politiknya juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhannya. Jadi dia lebih mengedepankan nuraninya ketimbang instruksi Yayasan. Dia merasa pilihan politik itu tidak harus dipertanggungjawabkan di depan ketua Yayasan.

Guru bukan budak yang hidupnya sudah dibeli hanya karena setiap bulan menerima gaji dari sekolah. Gajinya diterima karena mengajar. Bukan sebagai santunan sosial. Dia tetap pada pilihan politiknya sendiri. Sebab, sebagai guru dia sadar, dia ingin kotanya lebih baik. Dia ingin wilayahnya lebih manusiawi. Seperti yang sering diajarkan kepada murid-muridnya di depan kelas.

Baginya sekolah adalah sekolah. Apalagi sekolah yang menggunakan embel-embel Islam di belakangnya. Di sana tempat menyemai kebaikan dan kebebasan berfikir. Sekolah bukan partai politik. Sekolah bukan markas kampanye.

Tapi, berbeda bagi pengurus Yayasan. Mereka menjadikan sekolah sebagai institusi politik untuk memuluskan pilihan politiknya. Sama seperti banyak orang yang menjadikan masjid untuk tempat kampanye.




Di tangan orang-orang seperti ini, lembaga pendidikan yang semestinya memberi pendidikan karakter kepada anak didik diubah menjadi semacam mesin politik. Lembaga keagamaan yang semestinya mengajarkan keluhuran akhlak berubah fungsi menjadi sarang agitasi.

Dan ibu guru itu dipecat. Hanya karena dia membela nuraninya sendiri berhadapan dengan kepentingan PKS.

Seandainya dulu di Jakarta banyak perusahaan menerapkan aturan seperti ini, berapa banyak simpatisan PKS jadi pengangguran? Tentu saja mereka yang bekerja di perusahaan milik orang berdarah Tionghoa atau pemiliknya bukan beragama Islam. Sementrara dalam pilihan politiknya mereka mencaci maki Ahok, dengan sebutan China dan Kafir.

Orang-orang yang mabuk politik agama ini, bahkan dengan saudara seagamanya sendiri, mereka tega menutup pintu rezeki.

Karakter apa yang bisa diajarkan ke anak didik di sekolah yang kerdil begitu cara berfikirnya. Coba bayangkan apa yang akan dilakukan orang-orang sejenis ini jika mereka punya kekuasaan yang lebih besar lagi?







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.