Kolom Eko Kuntadhi: ENZO, DENNY DAN BIRGALDO

Saya membaca tulisan Denny Siregar soal Enzo. Saya manggut-manggut. Saya membaca tulisan Brigaldo Sinaga soal Enzo, saya juga manggut-manggut. Mereka punya pandangan yang sama-sama rasional dan kuat. Ah, itulah kalau orang-orang cerdas berbeda pendapat. Tulisan dibalas tulisan. Pendapat dibalas pendapat. Argumen berbalas argumen.

Bisa dikatakan perbedaan pendapatnya berkelas.

Berbeda jika saya dan Abu Kumkum berbeda pendapat. Biasanya pendapatan saya diminta sama Abu Kumkum. Sementara pendapatan Abu Kumkum gak mau dikasih ke saya. Lalu kami berdebat keras. Kumkum menempelkan dua tangannya ke telinga sambil menjulur-jukurkan lidahnya– Weekksss

Saya pun membalas : Weekkksss…

Lihat, cara kami berdebat gak berkelas sama sekali, kan? Gak usah ditiru.

Bersyukurlah kita masih bisa melihat perbedaan pendapat yang elegan. Sebab kita butuh dicontohkan bagaimana cara sebuah pikiran dijajakan dan dilaga. Orang membaca. Orang bereaksi.

Tidak semuanya sepakat dengan tulisan kita. Demikian juga tidak semuanya selalu menolak pikiran kita. Jadi, apapun pendapat kita akan selalu ada pro dan kontra. Itu biasa. Kalau cuma ada Pro dan mild, itu mah merk rokok.

Orang yang hari ini setuju dengan Denny Siregar, bisa saja kali lain lebih setuju dengan Birgaldo Sinaga. Atau sebaliknya. Atau ketika keduanya punya pendapat sama, eh, orang-orang malah lebih setuju Tengku Zulkarnaen. Padahal Tengku gak berpendapat sama sekali. Dia cuma sendawa.

Sebab orang-orang itu relatif berdiri di atas pikirannya sendiri. Melemparkan sebuah gagasan ke publik, karena mereka memang punya gagasan. Punya sesuatu yang dipikirkan. Mereka hanya menuliskan saja pikirannya. Soal pembacanya setuju atau tidak, itu di luar kuasa mereka.

Penulis –apalagi di FB– memang bukan gigolo. Tujuannya bukan untuk memuaskan pembacanya. Tujuan mereka cuma melempar gagasan saja. Ketika Anda gak puas dengan sebuah tulisan, karena pendapatnya gak cocok dengan Anda : syukurin! Kenapa dibaca.

Soal sekali waktu Anda membaca sebuah tulisan di media sosial lalu merasa klimaks dan puas, berarti saat itu Anda sedang membaca kisah 28 tahun ke atas. Itu bukan tulisannya Denny atau Birgaldo. Jikapun mereka menuliskan kisah itu, mereka akan menggunakan nama samaran.

Ada banyak orang yang japri saya, memprotes tulisan Denny atau Bidgaldo. Entah kenapa mereka kok malah japri saya. Mungkin karena saya dekat dengan keduanya. Tapi sedekat-dekatnya saya dengan mereka paling banter cuma ditraktir makan. Gak sampai bisa mempengaruhi opininya. Apalagi mengubahnya.

Orang-orang besar berani mengungkapkan pikirannya ke publik. Meski tulisan Birgaldo dan Denny no mention, tapi sebagian orang membaca sebetulnya mereka sedang berbalas pantun dalam soal Enzo. Dan itu normal.

Melaga pikiran memang mengasyikkan. Butuh mental petarung. Ini yang gak saya punyai.

Kalau tulisan saya diprotes orang, kemampuan tertinggi saya cuma cengar-cengir. Itu saja. Mau berdebat? Gak, ah. Saya gak sempat. Waktu saya sekarang dihabiskan untuk mencari link anak-anak Garut. Gak mikirin Enzo.

“Mas, tahukan kenapa di Metromini ada tulisan ‘dilarang saling mendahului’,” tanya Abu Kumkum.

“Biar gak kebut-kebutan, Kum.”

“Oh, saya kira karena supir dan kernetnya kebanyakan orang Batak…”

Lha, terus apa hubungannya?

One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: ENZO, DENNY DAN BIRGALDO

  1. “Tulisan dibalas tulisan. Pendapat dibalas pendapat. Argumen berbalas argumen.

    Bisa dikatakan perbedaan pendapatnya berkelas.” . . . “karena supir dan kernetnya kebanyakan orang Batak…”
    Wow, tulisan menarik.

    Keterus terangan sifat dan sikap orang Batak (extrovert) akan selalu menggugah, positif atau negatif. Berkebalikan dengan orang Karo (introvert) lebih suka menyimpan pikirannya yang sering sebenarnya harus dikatakan untuk menjernihkan suasana dan juga mencerahkan. Itulah pula kekurangan dan kelebihan orang Karo, positif dan negatifnya.

    Sebagian orang Karo ‘marah’ dikatakan Batak, salah satunya karena sifat yang berbeda itu (introvert-extrovert) terlihat sangat jelas dalam kehidupan sehari-arinya. Tetapi ada juga orang Karo yang lebih mirip extrovert, dan orang-orang ini senang dikatakan Batak atau Batak Karo.

    Bahwa Karo bukan Batak ada argumentasi ilmiahnya. DNA Karo dan Gayo sudah ada sejak 4700 tahun lalu, penemuan arkeologi USU di Gayo. DNA orang Toba baru ada 200-300 tahun lalu ditemukan oleh arkeolog di Taput. Jadi secara ilmu pengetahuan tidak mungkin Karo dan Batak di’samakan’ jadi Batak Karo (walaun ada orang Batak jadi Karo atau sebaliknya). Perbedaan existensinya terlalu jauh, 4000 tahun lebih.

    Tetapi mengapa bisa ada Batak Karo? Ha ha . . . berargumentasilah dan pakai dasar-dasar ilmiah . . . siapa tahu tambah pengetahuan dan pengalaman. Tidak perlu ada yang ‘sakit hati’ he he . . .
    Mari bersenang-senang dan berargumentasi.

    Mejuah-juah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.