Kolom Eko Kuntadhi: HANTU PRIBUMI

Di Eropa dan AS, setiap tanggal 31 Oktober masyarakat merayakan Halloween. Mendengar kata Halloween, bayangan kita mengarah ke suasana seram, semisal arwah, hantu, penyihir atau gobin. Perayaan Halloween sendiri merupakan tradisi kaum pagan dari Irlandia, khususnya suku Gael, untuk mengusir arwah yang dapat mengganggu panen mereka.

Film-film Hollywood yang bertema Halloween juga menyajikan bermacam hantu yang menegangkan penonton. Melalui Hollywood pula kita mengenal hantu Scream, lelaki bertopeng yang keluyuran membawa sebilah pisau.

Korban mereka kebanyakan adalah para wanita. Selain itu, kita juga kenal Fredy Jackson, seorang teknisi pesawat udara yang mati mengenaskan. Keduanya merupakan ikon hantu di sana.

Peradaban Barat juga memiliki Drakula. Kisah lelaki dengan pakaian berkerah lebar dari abad pertengahan ini awalnya adalah rekaan penulis Irlandia Bram Stoker yang kemungkinan mendapat inspirasi dari seorang pangeran kejam, Vlad Tepes. Pada abad 15, Vlad Tepes sering menampilkan sosok beringas dengan meminum darah musuh-musuhnya. Drakula, kabarnya lebih suka mencari korban perempuan untuk dihisap darahnya.




Masyarakat Eropa mengenal kisah manusia Srigala. Ini adalah perwujudan lelaki yang mempejari ilmu sihir. Di abad kegelapan, isu manusia Srigala ini sering menjadi momok masyarakat. Kabarnya manusia srigala ini suka menyerang perempuan dan anak-anak.

Lelaki yang dituduh sebagai manusia Srigala akan menghadapi hukuman berat seperti dikerat, dipancung, lalu tubuhnya dibakar. Kisahnya mirip dengan perburuan dukun santet di Jawa beberapa waktu lalu.

Entah kenapa hantu-hantu di Eropa dan AS atau hantu-hantu dari peradaban Barat tampil dengan wajah maskulin. Mereka mempertontonkan kegagahan dan kekuatan untuk menyerang kaum wanita dan anak-anak. Dalam sejarah, mereka adalah orang yang memang pada dasarnya adalah jahat. Ini berbeda dengan sosok hantu di Indonesia yang sebagian besar justru didominasi oleh tampilan feminin.

Dari kisah-kisah hantu di Indonesia yang paling top adalah Kuntilanak, Sundel Bolong, si Manis Jembatan Ancol, atau Wewe Gombel. Kesemuanya adalah perempuan. Hantu berwajah maskulin yang ngetop hanya Gendoruwo atau Tuyul. Ada kesamaan kisah para hantu feminin ini, yaitu semasa hidupnya mereka dicederai oleh kaum pria hingga mati.

Kuntilanak, misalnya, dikisahkan sebagai wanita yang mati saat mengandung janin akibat korban perkosaan. Sedangkan Wewe Gombel digambarkan sebagai perempuan tua jahat yang suka menculik anak-anak. Wewe Gombel dikisahkan sebagai seorang perempuan yang tidak kunjung memiliki anak, kemudian disakiti oleh suaminya sendiri. Derita dan sakit hati ini terbawa sampai mati.

Tafsir hantu dalam film-film yang dibintangi Almarhumah Suzana kebanyakan mengangkat sisi penderitaan perempuan –seorang perempuan baik-baik yang membalas dendam akibat dinodai dan akhirnya mati di tangan lelaki jahat.

Kita juga disuguhkan sosok Suster Ngesot : tokoh feminin yang kelayapan di bangsal-bangsal rumah sakit. Hantu-hantu berwajah feminin ini, semula bukan orang jahat. Sebagian menjadi jahat hanya karena ingin membalas dendam atas kejahatan yang menimpa dirinya. Atau sosok ibu dalam film Pengabdi Setan.

Kita tidak tahu, adakah sosok hantu yang kebanyakan tampil feminin dalam budaya kita ini mencerminkan sikap pandang gender dalam masyarakat? Atau keberadaan hantu feminin ini merupakan ekspresi ketidakberdayaan kaum perempuan akibat ketertindasan yang tidak bisa dilawannya. Namun, rasa marah pada realitas yang menyiksa dirinya, akhirnya diekspresikan dalam bentuk lain.

Atau kisah-kisah hantu ini sebagai sebuah penegasan –jangan pernah jahat pada perempuan. Nanti digerayangin! Hiiiii….








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.