Kolom Eko Kuntadhi: HIDUP LEBIH BUTUH PENGORBANAN — Ketimbang Mati Konyol

Kamu mau jadi teroris apa makan bakso? Sebuah pertanyaan yang sebetulnya mudah jawabannya. Jadi teroris itu susah. Kudu punya kebencian yang banyak. Kudu punya keberanian. Kudu rela keluarganya akan menerima akibatnya. Lihat saja Zakia Aini. Emak bapaknya kini pasti lagi gak enak ati sama tetangga. Punya anak teroris yang tujuannya membunuh. Kakak-kakaknya pasti jadi bahan omongan orang. Polisi dan aparat akan memeriksa rumahnya. Mengganggu ketenangan masa tua mereka yang harus bisa santai di rumah. Ibu bapaknya Zakia pasti bingung, apa yang meracuni anak yang sejak kecil dirawatnya sehingga jadi beringas begitu? Kenapa Zakia memilih jalan ribet?

Menyakiti orang, membuat ibu-bapaknya malu, merepotkan tetangganya karena pasti satu-satunya hari ini serombongan petugas akan bolak-balik di lingkungannya.

Apakah Zakia yakin surga akan mudah dimasukin dengan cara mati konyol? Jika surga semudah itu caranya. Buat apa Tuhan menurunkan Kitab Suci untuk mengatur kehidupan? Buat apa Nabi mulia diturunkan untuk menyempurnakan akhlak orang hidup? Buat apa serencang aturan ibadah dibuat. Jika kematian yang mudah jadi syaratnya.

Bener. Mati itu mudah. Lompat saja dari lantai 24, insyallah kamu mati. Atau tenggak obat serangga. Atau berbaring di rel tunggu kereta lewat. Atau, seperti jalan Zakia, todongkan pistol kepada petugas di Markasnya. Sebentar juga kamu akan mati. Sesimpel itu.

Yang susah justru hidup berguna. Kamu harus belajar sejak kecil agar menjadi pintar. Kamu harus menghargai orang lain. Kamu harus bekerja keras. Menciptakan suatu prestasi. Kamu bisa menjadi penonton yang mencemooh orang yang kerja untuk kehidupan. Bisa bilang, kenapa manusia harus berbuat baik ke semua orang? Padahal kamu yakin untuk masuk surga cukup dengan berbuat jahat.

Mati itu simpel Zakia. Sangat simpel. Gak usah berusaha cari makan, lama-lama juga kamu mati kelaparan.

Kalau nyebrang gak perlu hati-hati, suatu saat juga kamu ketabrak. Atau halal simpel lain yang gak perlu kerja keras. Ujungnya akan menuju kematian juga. Sementara yang susah adalah menjaga kehidupan. Menjadikan hidup berarti. Punya prestasi. Membanggakan keluarga. Menolong orang lain dengan hasil karya.

Itu jauh lebih susah. Jauh lebih butuh pengorbanan. Jauh lebih membutuhkan keringat dan air mata. Logikanya begini. Jika surga adalah ‘hadiah’ dari kasih sayang Allah. Pasti untuk mencapainya gak mudah. Diperlukan kerja keras. Keseriusan. Kebaikan. Konsistensi. Dan sabar. Dan itu semua hanya bisa dilakukan untuk orang yang menghargai kehidupan.

Sementara bagi orang yang sibuk menuju kematian. Apalagi dengan cara mudah dan gampang begitu. Hadiah apa yang kayak diberikan sebagai kompensasi dari orang yang gak berusaha? Kalau sesimpel itu surga didapat. Dengan cara mati konyol. Rasanya gak perlu kita belajar kitab suci. Gak perlu kita menelaah ilmu dan beribadah panjang. Gak perlu hidup berguna.

Toh, hidup yang tidak berguna sepertimu akan masuk surga? Kayaknya Tuhan gak gitu deh. Kalau kamu percaya mati konyol dibalas surga. Berapa kamu mempersepsikan Tuhan tidak adil. Masa untuk para pekerja keras untuk kehidupan malah dibalas neraka. Sedangkan kamu yang cuma nembak-nembak akan mendapat surga?

Zakia. Kau adalah korban. Korban dari sebuah pendangkalan pikiran yang menistai kehidupan. Kamu melecehkan kerja keras para Rasul untuk menciptakan kehidupan lebih baik. Kamu mencampakkan kitab suci yang mengajarkan bagaimana hidup bermanfaat. Bahkan kamu merendahkan Tuhan yang menghamparkan bumi dan langit untuk kesejahteraan kehidupan.

Manusia dan jin diciptakan untuk beribadah pada Allah. Beribadah hanya bisa dilakukan oleh mereka yang menghargai kehidupan. Sedangkan mereka yang cari mati, dengan cara konyol, buat apa disuruh ibadah. Wong, tujuannya mati.

Kamu bilang, jalannya adalah jihad? Kok jihad sesimpel dan sebodoh itu sih? Saya yakin, jihad tidak berlaku untuk orang bodoh. Sebab Kitab Suci diturunkan hanya untuk mereka yang berfikir. Bukan yang beku pikirannya. Zakia dan para calon teroris. Begitu teganya kamu menistakan keluargamu sendiri. Mencoreng wajah ayah dan ibumu yang membesarkanmu.

Jika hanya mati yang kamu cari. Buat apa kerja keras orangtuamu memberi makan dan pendidikan untukmu? Toh, untuk mati konyol. Kamu gak perlu kuliah. Apalagi belajar. Cukup punya kenekatan dan otak yang ringsek.

Ah, Zakia. Usiamu 26 tahun. Mestinya kamu masih bisa menambah tabungan ibadahmu dengan baik. Menggembirakan ayah ibumu. Membuat mereka bangga. Bukan malah nenyengsarakan mereka.

Jika kini kamu disuruh memilih lagi, mau jadi teroris atau makan bakso. Saya yakin kamu akan memilih makan bakso. Makan bakso jauh lebih susah ketimbang mati konyol di Mabes Polri. Tapi hasilnya lebih enak. Kenyang.

Sudahlah. Toh kamu sudah mati. Gak bisa makan bakso lagi. Salam dari sebuah warung bakso di Menteng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.