Kolom Eko Kuntadhi: JIKA JEMAAH JUMAT BANYAK TERTIDUR, INDONESIA MASIH AMAN

Seorang meneriakkan Allahuakbar, lalu menusuk polisi selepas Isya. Dua polisi yang baru saja sholat berjamaah terluka kena tusukan. Kita tentu bingung, bagaimana pekikan takbir yang memuji kebesaran Allah itu disebutkan sebelum melakukan kekejian?

Sebelum menusuk kedua polisi berseragam itu, pelaku juga memekikkan kata: “Kafir, Kafir, Allahuakbar…” Entah apa yang dimaksud, padahal korban baru saja sembahyang isya bersama.

Sepertinya kita tak perlu bingung juga. Kalimat takbir sejak beberapa tahun belakangan ini memang telah dirusak. Coba lihat pidato-pidato penuh kebencian Rizieq Shihab. Sebelum dan sesudah dia mencaci-maki siapa saja yang dianggapnya berbeda, dia juga mendahuluinya dengan kalimat takbir. Jemaah menyambutnya, entah menikmati takbir atau meresapi caci-makinya.




Dari atas mimbar demonstrasi kita juga sering mendengar kalimat takbir diucapkan berbarengan dengan ungkapan-ungkapan penuh kebencian. Mulut yang mengagungkan asma Allah, secara bersamaan adalah juga mulut yang penuh caci-maki.

Atau coba perhatikan anak-anak yang kemarin pawai menjelang Ramadhan. Sambil bertakbir, mereka juga teriak ‘bunuh Ahok’. Kalimat yang mestinya indah itu, disebut berbarengan dengan kalimat lain yang keji. Atau, dalam kasus penusukkan polisi di Blok M, menjadi pendahuluan sebuah tindakan brutal.

Kalau kita lihat youtube tentang aksi-aksi biadab para teroris, kalimat takbir memang seperti dijerembabkan dalam kehinaan. Sebelum melakukan pembunuhan mereka mendahuluinya dengan kalimat agung itu.

Ada juga penceramah Idul Fitri di Jogjakarta. Setelah menyebutkan ‘Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar Walillaahil hamd’ lalu dilanjutkan dengan mencaci maki pemerintah. Juga membawa-bawa nama Ahok dalam khutbahnya. Itu dilakukan di hari yang fitri, ketika Allah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari kebencian dan saling memaafkan.

Untung saja jemaah lebih cerdas dari khotib norak itu. Sebagian besar jemaah pergi meninggalkan lapangan tempat sholat digelar. Kita mengapresiasi para jamaah itu yang tetap ingin menjaga kesucian hari raya dari mulut kotor khatib sholat Ied.

Bahkan kini sebagai umat Islam, ada yang mulai phobi ketika ada orang yang meneriakkan pekik takbir.

“Gue malah degdegan jika ada orang teriak-teriak Allahuakbar. Padahal gue muslim,” ujar teman saya.




Saya rasa perasaan itu juga menimpa banyak orang lainnya.

Demikian juga kutbah-kutbah pada sholat Jumat kita. Saya sering mendengar penceramah yang sampai keluar urat lehernya menghambur-hamburkan kebencian. Dia berteriak-teriak sekeras-kerasnya dari atas mimbar.

Entahlah, apa untuk mengembalikan kata-kata suci pada tempatnya, apa perlu kita bangkitkan keberanian bersikap seperti jemaah Idul Fitri di Jogja itu. Kalau ada khatib Jumat yang ceramahnya menimbulkan kebencian atau penuh kedengkian dan kemarahan, mending ditinggalin saja. Sebab, kalau tidak pernah ada yang protes, orang-orang itu akan semena-mena menggunakan mimbar masjid untuk menyebarkan pahamnya.

Sejarah mencatat, dulu ada masa dimana selama puluhan tahun mimbar-mimbar Jumat juga digunakan untuk menebarkan racun. Para khatib dibayar oleh penguasa untuk mencaci-maki keluarga Kanjeng Nabi. Banyak kisah sahabat yang diselewengkan. Bahkan dalam banyak kajian, mereka menciptakan dan menyebarkan hadist-hadist palsu untuk memojokkan lawan politiknya.

Kita khawatir, orang-orang dengan ideologi yang sama seperti jaman Yazid bin Muawiyah itulah yang kini menguasai mimbar-mimbar Jumat kita. Mereka menggunakan topeng agama untuk merusak kesucian agama. Meracuni umat untuk membenci orang-orang terbaik.

Tapi motivasi meninggalkan ceramah yang penuh maki-maki itu tentu berbeda dengan alasan teman saya Bambang Kusnadi. Dia memang sering protes dengan khatib model begini.

“Gimana mau tidur kalau khatibnya ganas begitu,” ujarnya protes.

Ah, saya jadi ingat guyonan salah seorang kyai sepuh NU. Katanya, untuk melihat Indonesia damai atau tidak, cirinya gampang. Kalau masih banyak jemaah sholat Jumat yang tidur saat khatib ceramah, itu tandanya kita masih damai-damai saja.

Saking ademnya khatib ceramah, bikin jemaah ngantuk…

Foto header: Pengawalan dari serangan terorisme di Colosseum (Roma) [Senin 26/6]. Foto: ITA APULINA TARIGAN.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.