Kolom Eko Kuntadhi: JOKOWI MEMETIK ANGIN DAN MATAHARI UNTUK KITA

Bulan lalu saya berkesempatan ke Kabupaten Pangkep, melipir sebentar ke pulau Saugi. Di pulau berpenduduk sekitar 100 KK itu, saya menyaksikan pengoperasian sebuah pembangkit listrik tenaga matahari. Panel surya dipasangkan, energi disimpan dalam batere, lalu listriknya dialirkan ke seluruh rumah penduduk.

Tadinya penduduk di sana menggunakan genset untuk menerangi rumahnya.




Mereka urunan membayar Rp 4 ribu semalam dengan nyala lampu dari pukul 6 sore sampai pukul 12 malam. Kini lampu bisa menyala dari pukul 6 sore sampai pagi. Biayanya hanya Rp 20 ribu sebulan. Pengelolaan pembangkit listrik itu diserahkan pada musyawarah warga.

Model yang sama juga saya saksikan di Desa Amdui (Raja Ampat, Papua Barat). Sebuah desa kepulauan berpenduduk sekitar 80 KK. Desa yang sebelumnya hanya mengandalkan getah damar untuk penerangan kini sudah bisa menikmati malam dengan cahaya yang cukup.

Pemerintahan Jokowi memang bermaksud meningkatkan ketersambungan listrik untuk seluruh masyarakat. Karena Indonesia terdiri dari banyak pulau butuh waktu dan biaya besar bagi PLN untuk menarik kabel. Apalagi di pulau-pulau kecil. Solusinya dengan cara membangun pembangkit di tiap desa terpencil tersebut.

Bayangkan jika PLN harus menarik kabel melalui laut, berapa biayanya? Atau menyambungkan kabel ke wilayah terpencil yang hanya dihuni oleh beberapa KK. Secara ekonomis gak mungkin dilakukan perusahaan BUMN itu.

Di desa terpencil lain, panel surya kecil dipasangkan per rumah. Ini dilakukan misalnya di Wai Ngapan (Kabupaten Buru Selatan) atau di Desa Soritatanga (NTB). Targetnya 2.500 desa terpencil di seluruh Indonesia yang selama ini belum tersentuh listrik bisa menjadi terang. Pemerintahan Jokowi menargetkan rasio elektrifikasi nasional mencapai 99% di seluruh Indonesia. Artinya, 99% wilayah Indonesia sudah dialiri listrik.




Bisa saja target itu ditempuh dengan cara mudah, misalnya dengan membangun pembangkit tenaga minyak. Tapi, langkah ini sama saja menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Harga minyak dan ketersediaannya yang sulit bagi penduduk terpencil akan menjadi penghambat.

Pemerintah justru memilih jalan yang lebih repot dengan mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan. Sinar matahari yang berlimpah di negeri ini dimanfaatkan dengan baik. Begitupun dengan angin, panas bumi atau uap.

Di Sidrap (Sulawesi Selatan) baru-baru ini Presiden Jokowi meresmikan proyek pembangkit listrik tenaga angin. Ada 30 kincir angin raksasa yang dioperasikan. Proyek PLTB Sidrap I ini akan disusul oleh PLTB Sidrap II. Pembangkit listrik tenaga angin juga dibangun di Janeponto (Sulsel) dan di Tanah Laut (Kalimantan Selatan).

Saya pernah mengunjungi areal PLTB Sidrap beberapa bulan lalu. Menyaksikan pekerja yang sibuk menyatukan berbagai perangkat raksasa. Kincir angin dan turbin diangkut dari pelabuhan Makasar melewati jalan kemudian dirakit di lokasi. Proses pengangkutannya sudah ribet. Armada berbadan besar berisi perangkat raksasa itu harus melalui jalan yang berkelok.

Jadi, selain membangun pembangkit listrik pemerintah lebih dulu memberesi jalan dari pelabuhan menuju lokasi kincir angin akan dipasang. Yang diuntungkan adalah masyarakat. Sudah listrik di rumahnya nanti tidak byar-pet lagi, usahanya lancar, jalanpun jadi jauh lebih bagus dan lebar.

Entah kenapa, belakangan kita sering terkaget-kaget dengan kemampuan Indonesia membangun. Soal pembangkit listrik tenaga terbarukan saja, sepertinya sudah lama jadi wacana tetapi realisasinya nol. Padahal kita sudah tahu gak mungkin lagi mengandalkan minyak dan batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik. Sebab, pada waktunya minyak dan batubara akan habis. Harganya juga tidak menentu.

Indonesia ini negeri tropis. Sinar matahari melimpah dan gratis. Panas Bumi dan Angin juga gratis. Kekuatan alam berlimpah ini yang selama ini diabaikan. Alasannya, investasi yang mahal dan segala macam tetek bengek lainnya. Padahal sebenarnya cuma mau cari jalan gampang doang.

Nyatanya alasan itu hanya karena kemalasan saja. Ok, investasinya memang lebih mahal ketimbang pembangkit minyak atau batubara. Tapi, toh bukan kendala juga. Justru ketika dioperasikan biaya operasionalnya jauh lebih murah. Angin dan sinar matahari gratis. Buktinya pihak swasta yang berminat membangunnya. Toh, pasokan listriknya nanti akan dibeli PLN juga. Jadi masalahnya di mana?

Masalahnya ada di isi kepala pemimpin. Jika pemimpinnya tidak punya visi jauh ke depan, pembangunan kita hanya akan seperti tambal sulam saja. Butuh listrik, beli genset. Atau bangun pembangkit batubara. Murah investasinya. Saat itu masalah selesai. Tapi biaya operasionalnya selangit. Ketika harga batubara melambung, kontinuitas pasokan listrik bisa terganggu. Proyek pembangkit listrik akhirnya mangkrak.

Ini yang menjadi masalah dulu. Ada puluhan proyek pembangkit listrik dibiarkan jadi bangunan kosong dan besi tua. Duit negara terbuang percuma.

Berbeda dengan angin dan sinar matahari. Memetiknya mudah dan gratis. Pasokannya setiap hari. Jika diusahakan dengan baik ujung-ujungnya rakyat diuntungkan dengan harga listrik yang bisa lebih murah.

Di Janeponto, selain pembangkit tenaga angin, juga sedang dibangun PLTU (uap) dengan kapasitas 2 x 135 MW dan PLTU Punagaya dengan kapasitas 2 x 100 MW. Pembangkit ini dibangun sendiri oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Sulawesi Selatan.

Sekali lagi, ini soal visi seorang pemimpin. Jokowi memiliki visi yang jauh ke depan. Kini dia sedang meletakkan pondasi bangunan untuk sebuah Indonesia baru. Visi bukan cuma soal impian, tetapi juga bagaimana merealisasikannya.

Di tangan seorang Jokowi, kini kita bisa memetik angin dan matahari.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.