Kolom Eko Kuntadhi: JUMAT AGUNG

Roti tanpa ragi dan segelas anggur itu adalah simbol bahwa ada yang lebih berarti dari sekadar jasad. Ada yang lebih abadi dari sebujur badan. Pada jamuan terakhir itu sebuah takdir telah dituliskan.

“Inilah tubuhku. Inilah darahku. Kupersembahkan untukmu,” katanya dengan suara tenang.

Sahabat yang mengitarinya tertunduk. Lalu mereka memandangi wajah agung itu yang di pundaknya tertumpuk seluruh makna kemanusiaan. Esoknya lelaki itu diseret dengan bengis. Lalu diadili dengan setumpuk kebencian dan prasangka. Tubuhnya dipakukan pada kayu salib. Dengan kulit yang robek, di atas bukit Golgota, dia memanggul salibnya sendiri –berjalan menuju keabadian.




Tidak keluar keluhan dari mulutnya. Dendam tidak juga tumbuh dalam hatinya. Dia tahu, hanya cinta yang pantas dibasuhkan kepada jiwa-jiwa yang kerontang.

Kini para pecintanya di seluruh dunia turut menghayati penderitaannya. Menapaki jalan salib dengan rasa yang perih. Mereka ingin memaknai setiap potong roti tanpa ragi dan secawan anggur yang disuguhkan pada jamuan terakhir itu. Mereka ingin mengekspresikan rasa cintanya.

Dunia memang dihiasi oleh kematian-kematian yang indah. Sebuah tragedi hanya jadi pertanda bahwa keluhuran manusia selalu pantas untuk diperjuangkan.

Di waktu yang lain, kanjeng Nabi Muhamad –sosok pribadi agung lainnya berkata, “Setiap manusia akan dibangkitkan bersama sesuatu yang dicintainya.”

Maka gema cinta pada pribadi-pribadi mulia itu tidak akan pernah padam. Sebagaimana dia yang tidak pernah lelah mencintai umatnya.

Selamat memaknai Jumat Agung.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.