Kolom Eko Kuntadhi: KITA AKAN KEHILANGAN BANYAK MOMEN INDONESIA RAYA

Pada 1971, diadakan sebuah kejuaraan bulutangkis lokal di Kota Kudus, Jawa Tengah. Pertandingan seru. Ada yang kalah. Ada yang menang. Biasa. Namanya juga kejuaraan olahraga. Di sebuah sudut stadion, seorang bocah kecil manangis sesegukan. Hari itu dia kalah bertanding. Lawannya labih tangguh. Budi Hartono, seorang petinggi Djarum –perusahaan yang berbasis di Kudus — melihat bocah kecil itu. Didekati.

Lalu dinasehati agar tidak putus asa.

Budi menawarkan bocah kurus itu masuk klub bukutangkis yang dipimpinnya. Perjalanan panjang latihan yang keras, keseriusan menggapai prestasi, keringat dan tenaga akhirnya membuahkan hasil. Indonesia mengenal bocah kurus itu bernama Liem Swie King.

Lelaki itulah yang menggantikan tahta Rudi Hartono dalam ajang bulutangkis dunia. Dia menggondol berbagai piala kejuaraan. Gaya smashnya yang menukik, bahkan diistilahkan dengan ‘King Smash’.

Baru beberapa hari lalu, Indonesia kembali dibuat bangga dengan kemenangan pasangan Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan dalam ajang kejuaraan dunia bulutangkis. Ahsan dan Hendra selama ini memang dibina PB Djarum. Mereka mengalahkan ganda dari Jepang, Takuro Hoki dan Yugo. Lagu Indonesia Raya berkumandang di Swiss.

Di dunia bulutangkis, lagu Indonesia Raya menjadi langganan dikumandangkan. Atlet-atlet kita merajai ajang dunia. Ketika kita bicara bulutangkis, ada perasaan bangga. Di dunia itulah, salah satunya, wajah Indonesia terukir dengan manis.

Sebagian atlet itu adalah jebolan PB Djarum. Sebut saja Alan Budikusuma, Owi-Butet, Hariyanto Arbi, Kevin Sanjaya, Liliana Nasir atau Tantowi Ahmad yang kesemuanya pernah digodok di sana.

Meraih prestasi memang bukan perkara sekali jadi. Diperkukan pembinaan serius. Apalagi bagi seorang olahragawan. Sebab, usia 30 saja bagi dunia olahraga sudah bisa dianggap senior. Pembinaan harus dilakukan sejak kecil. Sejak usia dini. Itu kalau kita mau mencetak Liem Swie King baru. Atau jika kita tetap ingin mendengar lagu Indonesia Raya sering dikumandangkan di arena internasional.

Bukan hanya bulutangkis. Hampir semua cabang olahraga melakukan pembinaan atlet sejak usia dini. Lionel Messi atau Neymar juga digojlok sejak masih usia SD. Dengan gojlokan serius jadilah mereka bintang seperti sekarang. Kalau mereka baru latihan bola di usia 16 tahun, paling banter jadi pemain Tarkam, antar kampung.

Artinya, kalau membina orang yang sudah tua bangka, tulangnya sudah alot. Jangan mimpi bisa jadi atlet hebat.

Karena itu, aneh tanggapan KPAI yang mengatakan audisi bulutangkis Djarum sebagai eksploitasi anak. Bahkan, katanya, logo Djarum di kaos audisi sebagai iklan terselubung. Lha, emang namanya PB Djarum sejak 50 tahun lalu. Kalau kaos itu ada logo Djarum, ya wajar.

Lagian ngapain juga susah-susah Djarum beriklan terselubung. Wong, iklan terang-terangan saja boleh, kok. PB Djarum itu didirikan 50 tahun lalu. Telah menghasilkan puluhan atlet berbakat. Bahkan sebelum bisnisnya menggurita seperti sekarang.

Kita setuju saja, anak harus dilundungi dari segala jenis eksploitasi. Tapi juga jangan berlebihan dan nyari-nyari alasan yang aneh. Jangan juga beranggapan menggelar audisi atau lomba bagian dari eksploitasi anak. Itu berlebihan.

Djarum memang perusahaan rokok. Tapi, saya yakin, bahkan untuk anak didiknya di PB Djarum, pelatih akan memaki siswanya apabila kedapatan merokok. Audisi bukutangkis itu hanyalah cara mencari bakat atlet untuk mengharumkan nama bangsa. Jika yang melaksanakan PB Djarum, ya, wajar saja kaosnya gambar PB Djarum. Masa gambar wajah Rhoma Irama. Itu mah, audisi dangdut.

Harus dibedakan mana eksploitasi mana proses pendidikan pada anak agar mentalnya kuat menghadapi persaingan. Dalam audisi ada yang lolos dan ada yang gagal itu biasa. Wong untuk masuk sekolah saja ada tes-nya.

Jadi, ketika KPAI memprotes audisi bulutangkis PB Djarum dan mendesak untuk dihentikan, itu sama saja mereka ingin mengatakan jangan didik anak-anak kita punya prestasi di dunia bulutangkis.

Artinya, di masa depan, kita harus siap lagu Indonesia Raya tidak lagi berkumandang seperti yang kita saksikan semalam di Swiss, ketika Hendra-Ahsan menggondol medali emas.

Dan bocah kurus seperti Liem Swie King harus kembali nangis di pojokan stadion. Karena ulah KPAI, kita harus kehilangan banyak Liem Swie King baru di layar televisi. Kita juga akan banyak kehilangan momen lagu Indonesia Raya diputar di ajang internasional.

“Mungkin KPAI lebih suka dangdut koplo yang mendunia, mas,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.