Kolom Eko Kuntadhi: KITA BERSAMA ANANDA SUKARLAN

Ananda Sukarlan jadi buah bibir. Musisi klasik ini berdiri meninggalkan ruangan acara, begitu Gubernur Anies Baswedan menyampaikan pidatonya. Aksinya diikuti oleh ratusan orang lainnya. “

Saya protes sama panitia kenapa mengundang tokoh yang malah memecah belah dengan isu perbedaan. Tokoh yang dapat jabatan karena memecah belah,” ujarnya.

Setelah Gubernur selesai berpidato dan meninggalkan lokasi acara, Ananda kembali ke ruangan.

Ananda hadir dalam acara Pemberian Penghargaan sekolah Colase Kanisius kepada 5 alumninya. Ananda adalah seorang muslim sekaligus alumni sekolah itu yang menjadi salah satu penerima penghargaan.

Coba dengar pidatonya di atas panggung pengrhargaan tersebut. Ananda menyentil panitia. Mungkin juga menyentil kita semua.




“Anda telah mengundang seseorang dengan nilai-nilai serta integritas yang bertentangan dengan apa yang telah diajarkan kepada kami. Walaupun Anda mungkin harus mengundangnya karena jabatannya, tapi next time kita harus melihat juga orangnya. Ia mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kanisius. Ini saya tidak ngomong politik, ini soal hati nurani dan nilai kemanusiaan,” katanya.

Saya setuju dengan Ananda. Ini bukan soal move on dan belum move on. Apalagi cuma urusan menang kalah dalam politik Pilkada. Ini soal pilihan bersikap.

Jika kita semua menganggap angin lalu huru-hara Pilkada Jakarta yang brutal dan penuh kebencian, lalu melupakannya dengan alasan move on, maka bukan tidak mungkin cara-cara yang sama akan digunakan lagi untuk memenangkan pertarungan politik.

Toh, setelah itu rakyat lupa. Dan pemenangnya asyik masyuk duduk di kursi kekuasaan.

Saya mendukung sepenuhnya sikap Ananda Sukarlan. Bahkan saya berharap ini menjadi gerakan yang makin meluas. Bagi siapa saja yang muak dengan kelicikan yang terjadi pada Pilkada Jakarta lalu, tunjukanlah sikapmu. Bagi siapa saja yang sakit perut dengan politisasi agama, kita wajib bersikap sama seperti Ananda Sukarlan. Kita harus mengatakan dengan tegas, bagaimana sikap kita.

Jangan lagi menganggap isu politisasi agama cuma permainan politik saja. Sebab itu berdampak sangat buruk bagi masa depan bangsa ini.

Kita tidak melakukan penolakan pada hasil Pilkada. Tapi kita hanya memprotes caranya mendapatkan kekuasaan yang mengabaikan persatuan rakyat. Itu harus diingatkan terus menerus. Jadi kita tidak bisa hanya diam dengan alasan move-on.

Tentu saja kita tidak harus melakukan pembangkangan sipil, seperti menolak kewajiban sebagai warga negara. Akan tetapi kita bisa menunjukan bahwa respect hanya cocok diberikan kepada pribadi-pribadi berintegritas. Rasa hormat hanya akan kita sampaikan kepada pemimpin yang tidak menghalalkan segala cara untuk berkuasa.




Apalagi cara-cara menggapai kekuasaannya dengan merobek-robek tenun kebangsaan. Dengan mengorbankan kebersamaan kita sebagai bangsa.

Hanya dengan cara seperti yang dilakukan Ananda Sukarlan-lah, kita bisa menyelamatkan bangsa ini dari keserakahan para politisi yang mempermainkan agama. Yang menjadikan agama hanya sebagai bahan tunggangan politik.

Kita tidak akan pernah menaruh respect pada orang yang merobek-robek bangsa ini, hanya demi kursi kekuasaan.

“Aku juga akan pergi dari ruangan, jika dia pidato mas,” ujar Bambang Kusnadi.

“Oalah, Mbang. Kamu itu cuma bakul bubur ayam. Kapan kamu dapat undangan untuk mendengar Gubernur pidato?!”










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.