Kolom Eko Kuntadhi: MAFIA BERAS SUDAH MENJADI BUBUR

Saya pernah ngobrol dengan Om Max, orang Flores asli, saat mampir ke Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur. Di bawah pohon, sore itu, ditemani botol air mineral berisi Moke, minuman dari ektrak nira asli Flores. Saya sendiri hanya icip-icip saja. Soalnya saya tidak kuat dengan rasanya yang sangat menyengat.

Lelaki setengah baya itu bercerita bahwa, kini, anak-anak muda Flores tidak mau lagi makan nasi jagung. Mereka lebih suka makan beras. Memang ada beras subsidi dari pemerintah.

“Tapi, akhirnya kami bergantung pada beras dari luar. Tanah Flores sendiri tidak menghasilkan beras,” ujarnya.

Artinya, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, yang tadinya bisa dihasilkan petani Flores sendiri, kini mereka harus menggantungkan diri dengan hasil pertanian dari luar pulau.

Saya rasa pola yang sama juga terjadi di Papua, yang makanan pokoknya sagu. Kini, kebiasaan makan sagu sudah berganti makan nasi. Lidah dan perut orang Papua modern juga sudah tidak akrab lagi dengan sagu.




Apa akibatnya? Kebutuhan Indonesia terhadap beras semakin meningkat. Daerah-daerah yang tidak terbiasa menanam padi akhirnya punya ketergantungan yang besar kepada daerah penghasil padi. Selain penambahan penduduk juga terjadinya perubahan kebiasaan masyarakat yang makanan pokoknya jagung atau sagu, kini semua berubah menjadi pemakan nasi.

Bisa dibayangkan besarnya kebutuhan Indonesia terhadap beras ini. Wajar saja jika sejak dulu pemerintah tidak bisa melepaskan beras begitu saja ke pasar. Harus ada mekanisme pengaturan. Apalagi ketika lahan persawahan semakin menyempit dan tidak ada langkah besar-besaran mengamankan stok pangan ini. Akibat yang paling fatal adalah ketergantungan Indonesia pada impor beras.

Dengan adanya kebiasaan makan mie instan saja, kita sebetulnya ngos-ngosan. Bahan dasar pembuat mie instan adalah gandum yang tidak diproduksi di Indonesia. Semakin hari semakin besar juga tingkat konsumsi mie instan kita. Nah, betapa sedihnya jika negeri agraris ini akhirnya harus pasrah menggantungkan kebutuhan pokok rakyatnya kepada dunia luar.

Meskipun kita dapat memenuhi dengan impor seperti di jaman Pak SBY dulu, yang sedikit-sedikit impor. Sedikit-sedikit impor. Langkah itu hanya antisipas sementara. Tapi bukan jalan keluar dalam jangka panjang.

Makanya Presiden Jokowi sejak awal pegang kendali pemerintahan ingin mengubah cara kita menyediakan pangan ini. Dia ingin mengembalikan Indonesia sebagai bangsa agraris dan bahari. Semuanya berkenaan dengan suplai pangan. Lihat saja keseriusan Ibu Susi Pudjiastuti memberantas mafia perampok hasil laut kita. Juga target pembukaan lahan pertanian baru jutaan hektar. Plus membangun waduk untuk irigasi dan juga sumber energi. Ini tentu saja dengan tambahan subsidi bagi nelayan dan petani.

Bukan hanya di sisi penyediaannya, pemerintah juga merasa berkepentingan untuk mengatur sisi pasarnya. Salah satu caranya dengan membentuk Satgas Pangan. Kenapa lembaga ini penting, sebab pangan adalah kebutuhan pokok. Pemerintah tidak bisa melepaskan urusan pangan melulu pada mekanisme pasar.

Memberi sesajen nasi tumpeng ke Dewi Padi sebelum panen.

Orang juga sudah tahu sejak dulu di Indonesia ini para mafia bercokol dan menguasai perekonomian negeri. Mereka mencari untung dengan cara tipsani (tipu sana-sini). Di awal pemerintahannya, Jokowi berhasil melawan mafia migas dengan membubarkan Petral. Dia juga sangat serius melawan mafia daging yang menguasai bisnis daging sapi. Alhamdulillah, harga daging sapi lebaran lalu bisa stabil. Berbeda dengan sebelumnya yang harga daging menjelang lebaran gila-gilaan.

Kini, pemerintah mulai masuk untuk mengacak-acak mafia beras. Kemarin Kapolri dan menteri Pertanian menyegel gudang salah satu pemain beras terbesar PT IBU. Perusahaan ini diindikasikan meraup untung gila-gilaan dengan mengemas beras standar dan menjualnya dengan harga premium. Padahal beras itu diproduksi petani dengan subsidi negara. Beras IR64 misalnya, yang semestinya seharga Rp 9.000 sekilo, dijual jadi Rp 20.000 sekilo. Wow, bayangkan selisihnya.

Bagaimana cara kerjanya, kok bisa ibu-ibu kota tertipu besar-besaran seperti itu? Mereka membeli beras kualitas standar dengan harga premium. Membuang-buang duit untuk dilahap sama para mafia ini.

Begini. Biasanya perusahaan-perusahaan itu membeli beras standar dari petani dengan harga sedikit lebih tinggi. Ketika hasil panen bagus (saat musim agak kemarau) mereka berani mengambil pasokan besar-besaran dengan harga tinggi. Sekilas memang petani diuntungkan. Tapi saat panen kurang bagus, mereka membiarkan saja petani keleleran.




Karena membeli pasokan beras petani dengan harga tinggi akibatnya banyak penggilingan kecil yang mati. Sebab para pebisnis kecil itu memang membeli dengan harga standar, dan menjualnya juga dengan harga standar. Beda dengan PT IBU, membeli dengan harga sedikit lebih tinggi lalu menjualnya dengan harga gila-gilaan. Ini mengakibatkan persaingan tidak sehat.

Mengapa mereka hanya membeli beras standar dengan kualitas bagus? Sebab beras ini nantinya akan dimanipulasi menjadi beras premium. Caranya, perusahaan-perusahaan itu memiliki alat pemoles yang dapat mengupas permukaan beras. Hasinya beras akan menjadi lebih putih karena kulitnya sudah dikelupas.

Bubuk beras hasil pengelupasan dijual kepada perusahaan yang memproduksi bihun. Sementara beras yang disulap menjadi putih itu dikemas lalu dijual dengan harga tinggi. Padahal isi kandungannya sama saja. Ini beras standar.

Tambahan biaya produksi untuk memolesan bisa tertutup dengan penjualan bubuk beras. Sementara mereka bisa menjual dengan harga lebih dari dua kali lipat. Ada juga proses dengan memanfaatkan beras impor lalu diberi sedikit parfum agar bisa disulap menjadi beras Pandanwangi.

Siapa yang dibodohi? Ibu-ibu kelas menengah yang sok-sokan ingin mengkonsumsi beras bagus dengan hanya melihat tampilan yang putih bersih. Padahal ada juga pedagang nakal yang memutihkan beras dengan pengaduknya dengan semacam zat kimia.

Apakah soal ini pemerintah tidak tahu? Sejak dulu juga tahu. Di pos Menteri Pertanian kader PKS dua kali menduduki jabatan itu. Mereka hafal banget dengan lika-liku bisnis pangan ini. Kita ingat dulu mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishak dihukum 18 tahun penjara karena memainkan impor daging sapi. Karena memanfaatkan celah bisnis pangan ini untuk meraup keuntungan.

Sedangkan pada struktur perusahaan yang digrebek kemarin, ada mantan Menteri Pertanian asal PKS yang duduk menjadi Ketua Dewan Komisaris. PKS boleh saja teriak bahwa posisi komisaris itu personal, tidak ada hubungannya dengan partai. Tapi melihat langkah-langkah kadernya di DPR yang membela habis-habisan perusahaan ini, rasanya kok PKS merasa sangat terganggu dengan langkah pemerintah memberantas para mafia beras ini.

Padahal menertibkan tipu-tipu soal beras ini ujung-ujungnya adalah memberi manfaat kepada rakyat. Baik kepada petani, penggilingan maupun konsumen. Rakyat pemakan beras ini harus dilindungi sebab di sinilah salah satu letak pentingnya pertahanan sebagai sebuah bangsa.




Tampaknya benar. Partai berbasis agama ini sangat hafal teori ekonomi klasik : produksi semurah-murahnya jual setinggi-tingginya. Ambil untung dari mana saja. Bisa dari korupsi daging sapi, bisa dari menjual beras standar dengan harga premium.

“Mas, buburku ini pakai beras Pandanwangi, lho?” Bambang Kusnadi nyeletuk.

“Wangi apa, Mbang?”

“Axe Black, mas.”

“Oh, pantesan, kalau habis makan buburmu, 72 bidadari maunya nempel terus…”


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.