Kolom Eko Kuntadhi: MENGAPA SAYA MENENTANG REUNI 212?

Aksi 212 Desember lalu itu, awalnya menggunakan landasan fatwa MUI. Makanya gerakan ini diinisiasi oleh lembaga yang menamakan dirinya GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI). Kenapa perlu ada landasan pengawal fatwa? Karena mereka mau menggiring opini bahwa itu bukan semata gerakan politik. Ini adalah kegiatan membela agama. Buktinya berlandaskan sebuah fatwa dari majelis ulama.

Argumen itu yang membuat banyak rakyat terpedaya. Mereka tidak bisa membedakan bahwa ini adalah gerakan politik saat Pilkada atau murni gerakan keagamaan. Bahkan, sampai orang dari seluruh penjuru ikut nimbrung. Ini sebagai upaya membelokkan isu bahwa aksi 212 semata soal agama. Gak ada hubungannya dengan politik Pilkada Jakarta. Makanya, yang nimbrung juga orang dari mana-mana, bukan hanya warga Jakarta saja.







Sampai di sini memang terjadi debat kusir. Sebagian orang menganggap aksi itu cuma gerakan politik yang menunggangi agama. Tapi hujah mereka menjelaskan, itu adalah gerakan membela agama. Momentum Pilkada hanya soal kebetulan saja.

Ok, kita bisa berpijak pada pendapat masing-masing soal aksi 212 tahun lalu. Saya sih, tetap beranggapan bahwa itu hanya gerakan politik Pilkada yang menungangi isu agama.

Tapi ini jelas berbeda dengan reuni 212 minggu lalu. Saya rasa mereka tidak bisa lagi mengklaim bahwa itu adalah gerakan membela agama.

Pertama, MUI yang dulu sebagai basis legitimasi agama dari gerakan tersebut justru sekarang malah melarang reuni 212 itu. Artinya argumen agama yang dulu melatarbelakangi aksi 212 tidak berlaku lagi pada reuni 212. Wong, malah justru mereka yang tidak patuh pada MUI, kok.

Ke dua, tidak ada kejadian apa-apa yang bisa dijadikan momentum sebuah aksi masa. Mereka bisa berdalih bahwa ini sekadar pengajian atau peringatan Maulid, tetapi orang juga gak bodoh-bodoh amat menilainya. Semua pembicara membicarakan soal politik praktis, dengan menggunakan slogan agama.

Ke tiga, bendera HTI dan ajakan mendirikan khilafah bertebaran pada acara itu. HTI adalah organisasi yang dilarang di Indonesia dan sistem kekhilafahan jelas-jelas bertentangan dengan hukum positif di negara kita.

Jadi, jelas, reuni 212 semata-mata adalah gerakan politik yang kontennya berbahaya karena membawa jargon idiologis yang bertentangan dengan dasar negara kita. Apapun alasannya, mau muter-muter pakai ayat, tetap saja secara hukum positif itu harus diberangus dan dicurigai.

Mencurigai dan menentang semua gerakan yang membahayakan bangsa ini, adalah kewajiban setiap warga negara. Makanya, saya menolak keras reuni 212. Alasannya simpel, karena membahayakan kehidupan bernegara.




Lalu, apakah umat Islam seperti mereka tidak boleh berpolitik? Boleh-boleh saja. Silakan berpolitik dan melakukan gerakan politik apapun. Masalahnya, jangan kelewatan dalam menempatkan aksi politiknya. Politik adalah sebuah aktifitas profan (keduniawian) jangan dianggap sebagai akrtifitas yang sakral. Artinya, orang Islam bolah saja menentang aksi politik itu, tanpa harus takut dituding kafir, munafik dan anti Islam. Sebab ini memang tidak ada hubungannya dengan kesakralan agama. Ini hanya gerakan politik yang memakai jargon agama.

Tapi, jika mereka berpolitik dengan membawa baju agama, yang gerakannya justru membahayakan bangsa ini, umat Islam Indonesia wajib menghalaunya. Sebab, secara tidak langsung itu akan memecah belah umat dan bangsa ini.

Jika ada orang yang tidak mau berhaji ke Mekkah, Anda boleh tuding mereka anti Islam. Standar argumennya jelas. Tidak ada pertentangan di sana. Tapi kalau ada orang menentang reuni 212 dituding sebagai anti Islam, itu kebangetan. Karena reuni 212 murni gerakan politik, maka setiap orang, apapun agamanya, bisa punya sikap yang berbeda dengan peserta aksi. Dan, perbedaan itu tidak ada hubungannya dengan dosa-pahala. Dengan surga-neraka.

Perbedaan dalam memandang aksi reuni 212 ini, sama seperti perbedaan orang memilih partai politik. Mau pilih PKS, kek. Mau pilih, Golkar, kek. Mau pilih, PDIP, kek. Itu terserah. Gak ada hubungannya dengan dosa dan pahala. Semuanya adalah pilihan politik belaka.

Lantas. apakah kita juga harus bersikap terserah jika ada sebagian umat Islam yang mau mendirikan khilafah? Itu lain lagi masalahnya. Pilihan mendirikan khilafah jelas-jelas melenceng dari kesepakatan kita sebagai bangsa. Jelas-jelas mendorong bangsa ini ke jurang perpecahan dan kehancuran. Jadi semua wajib menentangnya. Bukan karena kita tidak demokratis, tetapi karena kita ingin menjaga sistem demokrasi itu sendiri agar tidak dirusak oleh orang yang anti demokrasi namun mereka hendak menunggangi demokrasi untuk kepentingannya.

“Mas, omonganmu kali ini berat. Aku jadi lapar,” ujar Bambang Kusnadi.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.