Kolom Eko Kuntadhi: OBROLAN SEBELUM KURBAN

Semalam, seekor kambing berbisik pada temannya. “Sampai sate memisahkan kita,” katanya lembut. Temannya hanya mengangguk. Mata mereka menerawang, menyaksikan gemintang yang bertebaran. Suara speaker mushola nyaring sampai menjelang subuh.

“Pernahkah kamu berfikir, betapa egoisnya manusia,” kambing yang lain ikut nimbrung.

“Egois kenapa?”

“Mereka mengurbankan kita. Tapi berharap merekalah yang mendapat balasan surga. Lha, kita dapat apa?”

“Sebagai kambing kita ini gak perlu surga. Juga gak khawatir pada neraka. Hidup kita tidak diribetkan sama urusan seperti itu,” seekor domba ikut diskusi. Wajahnya teduh dengan bulu-bulu putih yang bersih.

“Tapi apakah setelah dikurbankan nanti, kita akan masuk surga atau neraka?”

“Kita ini cuma kambing. Bukan anggota HTI atau simpatisan PKS. Kita juga bukan jemaat gereja dan vihara. Biarlah surga dan neraka jadi urusan mereka. Kita jalani saja hidup kita. Cari makan dan bercinta.”

“Lho, manusia juga sepanjang hidupnya harus cari makan. Juga bercinta. Apa bedanya dengan kita?”

“Bedanya, mereka bisa berkelahi berebut tuhan. Berebut meyakinkan diri bahwa keyakinanyalah yang pasti membawanya ke surga. Lalu memaksakan keyakinan itu pada orang lain. Padahal semuanya belum tentu.”

“Kita juga suka berkelahi, kan?”

“Iya. Tapi kita berkelahi untuk hal-hal yang nyata. Yang riil. Berebut betina, misalnya. Atau sekadar mengasah tanduk. Kambing tidak ada yang meributkan mau jadi mualaf. Atau dibabtis. Keribetan itu cuma khas manusia.”

“Jadi sebenarnya kita ini hidup untuk apa. Cuma cari makan dan bercinta doang?”

“Kita hidup, untuk manusialah. Biar mereka merasa yakin, bahwa ras-nya adalah bangsa tertinggi. Lebih tinggi dari mahluk apapun. Kita makan, gemuk, disembelih, untuk manusia. Kita bercinta, hamil, punya baby, juga untuk manusia. Kita disembelih, dikurbankan, untuk manusia. Dengan berkurban mereka dapat pahala.

“Iya, sudah dapat pahala. Eh, mereka bersenang-senang dengan tubuh kita. Jadi sate atau sop.”

“Nah, itu. Manusia butuh sesuatu di luar dirinya untuk berbahagia. Mereka sering gagal menciptakan kegahagiaan untuk dirinya sendiri. Menyedihkan, sebetulnya. Untuk bahagia saja mereka bergantung pada sesuatu yang lain di luar dirinya. Kayaknya manusia itu mahluk yang susah bahagia, ya?”

“Beda dengan kita, ya. Padahal besok mau disembelih, malam ini masih saja mikirin bercinta. Tuh, lihat di ujung. Ada kambing yang naikin temannya. Padahal sama-sama jantan. Hahahahaha…,” sehabis ngomong gitu, dia terkekeh sendiri.

“Nah, membedakan jantan dan betina saja kita gak bisa. Apalagi membedakan yang cantik dan ganteng.”

“Iya, mana ada kambing yang suka mampir ke Shepora, untuk beli kosmetik. Kita gak butuh parfum dan lipstik. Gak ada gunanya.”

Sejenak mereka terdiam. Lalu seekor kambing nyeletuk. “Eh, pernah mikir gak. Kita ini sebetulnya agamanya apa, ya?”

“Muslimlah. Buktinya kita dikurbankan di hari raya Idul Adha.”

“Kayaknya bukan deh. Saya rasa kita ini Hindu atau Kong Hu Cu”

“Kenapa?”

“Buktinya jasad kita dikremasi di tungku sate. Kalau muslim, harusnya kita dikubur.”

“Tapi kita akan dikubur juga. Dikubur di perut manusia.”

“Iya, perut manusia memang kuburan hewan paling dasyat. Semuanya dimakan. Serakah. Tapi ngakunya mahluk beragama. Bolak balik cari kebahagiaan dengan mengurbankan mahluk atau orang lain. Payah…”

“Sudah gak usah ghibah. Ngomongin orang, dosa. Ayo, ah. Makan lagi. Besok mau disembelih. Ini malam terakhir kita makan. Makan yang banyak. Biar daging kita enak disantap manusia.”

Merekapun makan dengan riang gembira malam itu. Mengunyah-ngunyah rumput. Besok kambing-kambing itu semua akan berjumpa dengan Tuhannya.

Tanpa surga. Tanpa neraka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.