Kolom Eko Kuntadhi: PASKAH DI MONAS

Perayaan Paskah di Monas menjadi debat yang seru. Ada yang tidak setuju, ada juga yang sangat antusias. Bahkan ada anak pendeta yang sering turun naik ke surga, menuduh mereka yang tidak sepakat perayaan Paskah di Monas sebagai anti Pancasila. Anti kebhinekaan.

Dia meyakini, penolakan acara paskah di Monas semata karena reaksi politik karena kekalaham Ahok di Pilkada Jakarta.

Dia mendukung rencana peringatan Paskah yang intinya sebagai perjuangan dan pengorbanan Al Masih untuk keadilan bagi umat manusia, digelar di Monas. Terang-terangan dia bilang, suka melihat kebaktian di Monas. Suka dengan rencana Pendeta Gilbert Lumoindong menggembalakan dombanya di lapangan Monas.

Saya tidak bermaksud menilai soal makna paskah di Monas. Itu urusan rekan-rekan yang beragama kristen.







Tapi ada satu hal yang selalu saya ingatkan. Tidak dapat dipungkiri kemenangan Anies-Sandi disebabkan karena masifnya kampanye dengan jargon ‘haram memilih pemimpin kafir’. Ini adalah persekusi politik paling sadis yang terjadi di Indonesia. Padahal Pancasila dan UUD kita membuka kesempatan politik kepada semua warga negara tidak peduli agama dan rasnya.

Jargon itu sejatinya bukan hanya ditujukan buat Ahok yang beragama Nasrani. Juga ditujukan kepada semua pemeluk Nasrani di Indonesia. Juga pemeluk agama lain selain Muslim

Jargon seperti itu, yang diteriakkan dengan lantang, akan berimbas kepada sikap sebagian rakyat Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Sementara kita tahu, demokrasi di Indonesia menggunakan sistem pemilihan langsung.

Dengan mengharamkan memilih pemimpin non Muskim, maka otomatis Indonesia akan menutup diri dari hadirnya orang-orang non Muslim duduk sebagai pimpinan publik. Meskipun seseorang berkualitas dan kapabel, jika dia bukan beragama Islam, gak mungkin dipilih.

Ini sama saja dengan merampas hak politik paling dasar sebagai warga negara. Hak memilih dan dipilih adalah asasi untuk setiap WNI yang memenuhi syarat. Nah, dengan kampanye pemimpin seagama, otomatis hak itu dirampas dari orang-orang Kristen.

Bukan hanya itu. Jargon tidak memilih pemimpin non Muslim bisa dibetot ke segala level. Bukan hanya untuk memilih Gubernur atau pimpinam politik. Mungkin juga di tingkat yang lain. Memilih ketua kelas, ketua organisasi, ketua RT, pemilihan dekan atau rektor, atau mungkin di kantor-kantor.




Bayangkan anak-anak yang orangtuanya beragama Kristen, jika jargon haram memilih pemimpin bukan Muslim dijadikan pegangan, secara otomatis akan menyempit peluangnya untuk maju. Hak mereka diambil. Sementara kewajibannya dimintakan terus.

Dan, serunya, pusat kegiatan ketika perampasan hak itu dilakukan adalah di Monas. Di sanalah jargon itu disiarkan dan dikoarkan.

Jadi bukan soal apakah Monas pantas dijadikan kegiatan keagamaan atau tidak. Tapi ini soal sikap pembelaan pada hak yang dirampas.

Menolak kegiatan Paskah di Monas, bagi saya adalah penolakan pada jargon yang memberangus hak politik umat Kristen. Menolak Paskah di Monas, mungkin saja sebagai refleksi sikap penegakkan keadilan dan keluhuran kemanusiaan sebagaimana diperjuangan Jesus, ketika dengan ikhlas menapaki jalan salibnya.

Silakan saja jika Anda, umat Kristen, yang setuju dengan perayaan Paskah di Monas. Tapi ada kewajiban lain yang perlu Anda perjuangkan sendiri. Bagaimana mengembalikan hak politik sehingga siapapun, agama apapun, ras apapun, punya hak yang sama sebagai warga negara.

Jika Anda sendiri tidak mau berjuang mempertahankan hak Anda, jangan berharap orang lain mau memperjuangkan. Jika Anda merasa jargon itu tidak berbahaya bagi anak cucu Anda di Indonesia, silakan terus bermesra-mesra dengan Tuhan. Lalu merasa tiket surga sudah di tangan.

Setelah ditampar pipi kiri, apa Anda juga akan memberikan pipi kanan? Memaafkan memang penting. Tapi memperjuangkan keadian tidak kalah pentingnya.

“Mas, kalau jadi acara Paskah, aku mau jualan bubur di Monas,” ujar Bambang Kusnadi.

“Kalau dilarang jualan aku protes. Masa cuma pedagang di Tanah Abang aja yang boleh jualan di jalanan.”

Nah, tuh. Bambang Kusnadi aja mikirin haknya sebagai penjual bubur.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.