Kolom Eko Kuntadhi: PENYERAGAMAN BUSANA MUSLIMAH ADALAH PENJAJAHAN

Ada gerakan kebaya. Disodorkan untuk melawan arus jilbabisasi. Agar orang kembali ke akar budaya kita. Dan menghargai keragaman busana. Memang, yang namanya busana mestinya beragam. Setiap orang punya cara mengekspresikan dirinya.

Bisa berkebaya. Bisa blazer. Kaos oblong dan jeans. Atau jilbab, yang panjang dan pendek. Terserah.

Yang repot, ketika orang berkebaya lalu mengira bahwa pakaian itu saja yang pantas untuk perempuan Indonesia. Atau yang berjilbab merasa itulah pakaian muslim untuk perempuan satu-satunya. Yang gak jilbaban, gak dihitung muslimah.

Perempuan berkebaya dan sanggulan keliatan memang seksi. Juga kemayu. Ketika nonton Srimulat dulu, saya suka menyaksikan Jujuk yang selalu tampil berkebaya. Anggun tapi gak kehilangan kesan atraktifnya. Kebaya pakaian khas priyayi.

Cuma saya bayangkan, betapa ribetnya jika setiap hari harus berkebaya dan bersanggul. Rambut mumbul gak turun-turun. Bakal menghabiskan banyak hairspray.

Tapi, itulah sesungguhnya masyarakat yang beragam. Pakaiannya juga beragam. Ketika tampil di ruang publik, keragaman itu menunjukan kedewasaan kita bermasyarakat.

Repotnya kini ada gerakan yang mau menyeragamkan perempuan Indonesia. Mereka didoktrin harus berjilbab, ukuran lebar sampai melengser dengan warna gelap. Pakaian jenis ini jadi semacam peneguhan iman.

Perempuan yang belum memakai pakaian itu, dianggap masih berlumur dosa. Sepertinya dosa itu sejenis lumpur yang bisa melumurkan badan. Sebetulnya jilbab ya, gak apa-apa. Budaya kita juga adaptif dengan itu. Jilbab panjang juga monggo.

Tapi, jika doktrinnya harus penyeragaman model dan warna, sungguh kita akan kehilangan keindahan. Mata jadi sepet.

Apalagi ketika orang pakai kebaya dituding sebagai gerakan pemurtadan. Ini agak susah masuk akal. Masa agama cuma tampak dari pakaian saja. Masa kebaya sebagai lambang murtad?

Jika Islam mengharuskan pakaian model perempuan Arab dan menolak memakai yang lain, agama ini menjadi tidak kompatibel dengan berbagai budaya dunia. Islam kehilangan daya adaptasinya. Padahal sebuah ajaran bisa menjalar jauh memasuki berbagai segmen populasi justru karena punya kemampuan beradaptasi.

Yang paling parah adalah kesan yang muncul kehadiran Islam justru untuk menjajah kebudayaan yang ada. Agama ini diperlakukan seperti alat kolonial, yang memberangus keragaman budaya dan hanya mau menegakkan satu kebudayaan.

Padahal dulu Islam disebarkan dengan juga mengadopsi budaya lokal. Kisah-kisah Walisongo yang menyebarkan agama via pertunjukan Wayang, adalah salah satu contohnya. Atau syair-syair nasihat, yang dibalut dengan tembang indah, juga dikenal sebagai sarana dakwah.

Tradisi keislaman di Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Asia jelas berbeda. Sebab Islam hadir bukan sebagai alat kolonial, tetapi sebagai dasar nilai. Keuniversalannya yang membuat Islam bisa diadopsi dalam beragam jenis kebudayaan.

Justru ketika ada usaha penyeragaman atas nama Islam, mereka sedang mereduksi nilai agama yang universal. Sebab wajah Islam hanya tampak sebagai wajah Arab. Wajah yang pasti gak cocok dengan budaya di belahan lain.

Sebagai sebuah nilai dan ajaran, mestinya keislaman bisa memberikan dorongan positif. Tapi di tangan orang yang salah, bisa juga jadi alat penjajahan.

ISIS biasanya merusak berbagai artefak budaya jika mereka menguasai sebuah wilayah. Taliban pernah mengharamkan layang-layang. Menghukum lelaki yang mencukur jenggotnya. Dan menembak seorang remaja putri yang mengkampanyekan pendidikan bagi kaumnya.

Boko haram jelas membenci perempuan yang aktif. Mereka menyeret perempuan dari wilayah publik. Di sekap di dalam rumah. Hanya menjadi alat reproduksi. Tanpa ada rekreasi sama sekali.

Sama seperti gerakan penyeragaman busana muslimah di sini. Dasar nilainya sama seperti gerakan ISIS, Taliban atau Bokoharam. Mereka membenci keragaman. Mereka mau jadikan kehidupan menjadi muram dan kelam.

Mereka menjajah semua kebudayaan lokal. Atas nama agama.

“Mas, polusi di Jakarta juga bagian dari gerakan agama, lho?” ujar Abu Kumkum.

“Apa hubungannya, Kum?”

“Kan, sekarang perempuan di Jakarta kalau keluar rumah harus pakai cadar. Biar sehat.”

“Itu mah, masker Kum…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.