Kolom Eko Kuntadhi: POLITISASI GEMPA

Lombok gempa. Ada korban jiwa dan rumah yang hancur. Pemerintah pusat memfokuskan diri untuk menangani bencana tersebut. Dana yang sudah dicairkan dari pusat Rp 40 miliar. Menkeu juga menyiapkan dana sampai Rp 4 triliun lagi untuk membantu korban. Salah satunya untuk bantuan renovasi rumah yang rusak.

Bukan hanya bantuan langsung dari Depkeu. Departemen Pendidikan juga menggelontorkan dana sampai Rp 200 miliar lebih untuk merenovasi fasilitas sekolah yang rusak.

Ada tuntutan sebagian politisi agar pemerintah menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional. Artinya, jika sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, konsekuensinya seluruh penanganan gempa menjadi tanggungjawab nasional. Karena itu biasanya sebuah kejadian dikategorikan bencana nasional apabila pemerintahan daerah sudah tidak mampu menangani. Seperti ketika Tsunami Aceh dimana seluruh fasilitas Pemda rusak dan secara organisasi Pemda lumpuh. Sementara sampai saat ini Pemda NTB masih terus bisa menangani.

Sebetulnya tidak masalah mau dibuat status apa. Bagi rakyat yang paling penting adalah penanganannya. Sampai saat ini pemerintah pusat memang terlihat serius membantu Pemda NTB untuk menghandle bencana. Seluruh kekuatan dikerahkan. Dana disiapkan dengan angka yang besar.

“Jika Rp 4 triliun itu kurang, akan ditambahkan lagi,” ujar Menteri Keuangan.

Presiden Jokowi sendiri sudah dua kali meninjau lokasi. Dia bahkan ikut tidur di tenda pengungsi. Menelusur wilayah gempa didampingi oleh Gubernur NTB. Bahkan untuk penanganan lebih serius, Presiden sedang menyiapkan Inpres untuk Gempa Lombok.

Artinya, pemerintah pusat sudah menghandle bencana lombok dengan skala kekuatan nasional. Hanya saja, kewenangan Pemda yang memahami daerah tersebut tidak dicabut. Presiden masih mempercayai Pemda mampu bekerja mengkoordinasikan penanganan bencana di daerahnya.

Lalu, kenapa orang berteriak agar gempa Lombok dinyatakan sebagai bencana nasional? Padahal secara penanganan pemerintah pusat terlihat sangat serius menanganinya. Karena, jika dinyatakan bencana nasional, Pemda NTB bisa melepas diri. Penanganan akan terfokus di pusat. Di sanalah sasaran tembakan akan dimainkan.

Maksudnya begini. Kalau belum dinyatakan sebagai bencana nasional maka para pengkritik akan susah menembakkan pelurunya ke Jokowi. Jika dinyatakan sebagai bencana nasional, mereka baru akan habis-habisan mencela pemerintah pusat karena tanggungjawab Pemda NTB sudah lepas. Intinya, desakan itu lebih terkesan politis ketimbang membantu masyarakat untuk menangani bencana.

Harus diakui, yang memahami masyarakat NTB adalah Pemerintahan Daerah NTB sendiri. Jika untuk menangani butuh pendanaan dan support dari pusat hal itu sudah dilakukan selama ini. Dan akan terus dilakukan. Bahkan untuk membangunan kembali rumah yang rusak seluruh dananya diambil dari anggaran pusat. Lalu, masalahnya di mana?

Masalahnya adalah gempa Lombok bisa dijadikan isu politik untuk menghantam pemerintah pusat. Makanya mereka mendesak agar ini dinyatakan sebagai bencana nasional. Agar ruang tembak itu terbuka.

Mereka gak peduli jika status bencana nasional dalam jangka panjang juga bisa berpengaruh pada sektor pariwisata. Mereka tidak peduli jika status itu menyebabkan kekhawatiran turis datang ke Bali yang juga terkena dampak gempa. Padahal Lombok dan Bali hidup dari sektor pariwisata.

Jika perekonomian masih bisa berjalan, proses recovery masyarakat akan jauh lebih cepat. Ketimbang ekonomi lumpuh sama sekali dan masyarakat dibiarkan hidup dari bantuan. Mereka ingin isu ini diangkat sedemikian besar agar skalanya melebar. Mereka butuh ruang tembak. Lihat saja yang teriak-teriak soal penetapan bencana nasional rata-rata dari PKS atau Gerindra.

Targetnya bagaimana gempa bisa dijadikan komoditas politik.

Sebetulnya kita tidak terlalu penting mengenai status bencana. Mau nasional kek. Mau lokal, kek. Yang paling penting bagaimana korban gempa bisa tertangani. Jika Pemda NTB masih sanggup mengkoordinasikan penanganan korban gempa, dengan support penuh dari pusat, lalu buat apa status-status seperti itu?

Tantangan kita sebetulnya adalah bagaimana melatih pemerintah daerah dan masyarakat untuk memiliki kemampuan menangani bencana. Ingat. Indonesia berada di garis pegunugan berapi yang rawan bencana.

Kita perlu belajar dari masyarakat Jepang yang terlatih ketika terjadi bencana. Masyarakatnya punya kemampua ln survival memadai. Pemerintahnya juga memiliki management skill dalam mengelola dampak bencana.

Tapi ada juga yang membanggakan kita bahwa setiap kejadian bencana masyarakat kita menunjukan solidaritas yang luar biasa. Di NTB saat ini berdatangan relawan dari berbagai penjuru Indonesia. Sebagian besar datang membawa bantuan dari masyarakat. Mereka mengeluarkan biaya dari kantongnya sendiri.

Ini menunjukan solidaritas sosial kita masih terjaga dengan baik.

“Mungkin karena sering di PHP, jadinya orang-orang itu butuh status. Kalau digantung terus statusnya, gak enak mas,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.