Kolom Eko Kuntadhi: SERASA BARU KELUAR DARI GUA ALKAHFI

Ketika akun saya baru siuman, saya disergap oleh dunia yang tiba-tiba berubah. Teman-teman saya yang selama ini baperan, dikit-dikit menuding orang menista agama, berubah jadi liberal. Mereka antusias membela argumen bahwa kitab suci adalah fiksi.

Jujur saja, saya jadi merasa seperti pemuda di gua Kahfi. Setelah tertidur sedemikia lama, pas bangun, dunia sudah berubah. Pendukung FPI sekarang sudah mulai berfilsafat. Mereka yang biasa mengkafir-kafirkan orang, kini mengaminkan omongan bahwa kitab suci adalah fiksi. Woww…

Meski tergagap-gagap, mereka belajar masuk ranah debat filsafat. Misalnya dengan melakukan telaah definitif terhadap makna kata fiksi. Bukan KBBI atau kamus Inggris yang dipakai untuk menelusuri makna istilah fiksi. Tapi, katanya, mengacu pada Bahasa Latin, fictio, yang maknanya dikonstruksi, dikreasi atau diadakan.







Sementara kalau kita mengacu pada KBBI, fiksi adalah kisah rekaan atau khayalan yang tidak berdasar. Nah, sebagian besar kita mengacu pada definisi ini sebagaimana lumrah kita pahami. Sementara Rocky menggiring makna fiksi dengan definisi yang lain.

Jadi debat ini berawal karena definisi soal fiksi yang berbeda.

Sebuah perdebatan yang sehat memang perlu diawali dengan menyamakan definisi. Jika definisi atau pemaknaan pada sebuah kata berbeda, perdebatan hanya akan jadi omong kosong. Sama seperti ketika debat politik, harus jelas apa yang dibicarakan. Jangan sampai yang satu ngomongin sapi, yang lain membicarakan partai politik. Meskipun diantara keduanya bisa juga terjadi irisan.

Saya cuma menilai, Rocky sedang melakukan akrobat intelektual dengan membicarakan sebuah makna kata, dengan bangunan definisi yang dia tetapkan sendiri. Berbeda dengan pemahaman masyarakat umum.



Masalahnya, kadang Rocky jumawa, dengan mengatakan orang lain dungu hanya karena memahami makna fiksi berbeda dengannya. Jika dia sadar, sebuah kata punya beragam makna –seperti cara dia mencari makna fiksi sesuai dengan pemahamannya– dia tidak harus menyerang dengan kata dungu apabila orang lain punya pemahaman berbeda.

Ini salah satu ketidakadilan Rocky secara intelektual. Masyarakat wajar marah dengan sebutan kitab suci adalah fiksi. Sebab makna fiksi yang dipahaminya membuat pernyataan itu sebagai pelecehan terhadap kitab suci.

Rocky bisa ngeles, karena punya makna yang berbeda tentang fiksi. Di situlah kita berputar-putar. Saya juga heran bagaimana kelompok yang selama ini memaksakan pemaknaan tafsir keagamaan, kok mau-maunya membuka isi kepalanya untuk membela Rocky dengan mencari definisi alternatif terhadap kata fiksi.




Saya sebetulnya gembira karena orang-orang yang selama ini miskin imajinasi mulai mencoba memanfaatkan majinasinya untuk merekonstruksi sebuah peristiwa di ILC. Mereka membela Rocky dengan membangun argumen yang imajinatif juga.

Misalnya, kata mereka, Rocky tidak spesifik menyebut Alquran sebagai fiksi. Dia hanya menyebut kitab suci adalah fiksi. Maka kesimpulannya, kata mereka, Rocky tidak sepenuhnya salah. Di sinilah mereka membela Rocky.

Pembelaan itu mengandung beberapa makna. Pertama, bisa saja mereka beranggapan Alquran bukan termasuk kitab suci. Makanya, bukan termasuk fiksi seperti yang disampaikan Rocky. Ke dua, ada keyakinan dalam diri mereka untuk mengatakan kitab suci lain itu fiksi. Jadi semangat barbarian untuk menuding dan memojokan kebenaran kitab suci lainlah yang juga melandasi mereka membela Rocky.

Itu jika kita debat soal konten. Tapi, ketika Rocky bicara di ILC, kita bisa melihat pada konteks apa dia bicara. Saya rasa telaah pada konteks ini juga penting. Agar kita bisa memposisikan Rocky secara tepat.

Begini. Omongan Rocky itu diawali dengan pembelaan pada statemen Prabowo bahwa Indonesia bubar pada 2030, yang didasarkan pada kisah fiksi, yaitu novel Gosht Fleet. Rocky tentu cerdas dengan tidak langsung membela statemen Prabowo. Dia tidak mau begitu saja ditempeli status sebagai corong Prabowo. Rocky menyerang dari pinggir dengan membelokkan definisi soal fiksi.

Fiksi itu positif, karena membangkitkan imajinasi, katanya. Oleh sebab itu, statemen Indonesia pada 2030 akan bubar padahal pendapat itu bersandar pada kisah fiksi tidak otomatis jadi salah. Sebab fiksi tidak harus dipandang negatif. Fiksi, kata Rocky, berbeda dengan fiktif. Jadi, jika ditarik kesimpulan Rocky ingin mengatakan apa yang dibicarakan Prabowo, meski didasari pada novel, tidak bisa ‘diadili’. Tidak bisa ditarik kesimpukan benar salahnya.




Di sinilah Rocky berdiri bukan sebagai pengamat. Dia memposisikan dirinya sebagai pembela Prabowo. Aneh memang. Orang yang dikenal sejak dulu skeptis dengan kekuasaan militer, tiba-tiba jadi pembela Prabowo yang aktif.

Jika kita bicara konteks, akan jauh lebih mudah memahaminya. Di ILC kemarin, Rocky cuma sedang membela Prabowo sambil menjatuhkan Jokowi. Itu saja. Cara membelanya, salah satunya, dengan mengatakan kitab suci adalah fiksi. Itu saja. Jadi, anggap saja dia sedang kampanye. Seperti juga Tengku Zulkarnaen yang sedang mengkampanyekan Rizieq.

“Untung Prabowo sudah deklarasi sebagai Capres, ya mas. Jika tidak, dia bisa dianggap Capres fiktif,” ujar Bambang Kusnadi.

Saya cuma nyengir. Tiba-tiba Abu Kumkum menyambar. “Harusnya ada yang ingatkan Prabowo agar nanti dia tidak sujud syukur fiktif lagi…”








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.