Kolom Eko Kuntadhi: SUDAHLAH, PAK PRABOWO — Waktunya Balik Badan

Apa yang saya bayangkan malam ini? Prabowo sedang tertunduk lesu di ruangannya. Ditemani Bobby The Cat yang menggesek-gesekkan ekornya ke wajah lelaki separuh baya itu. Matanya sayu. Gegap gempita yang baru semalam diteriakkan di TMII, tetiba hanya mirip suara bising ABG di dalam kelas.

Ia merasa ditinggalkan. Bermimpi basah sendiri menjadi Presiden.

Kemarin, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bertemu dengan kompetitornya, Jokowi. Kabarnya mereka membicarakan kemungkinan PAN yang akan pindah gerbong. PAN menampilkan tanda-tanda tidak betah berada pada gerombolan loser.

Bukan hanya PAN. Sandiaga Uno juga tidak mau berdekatan dengan Prabowo lagi. Sandi tahu, acara di TMII semalam bukan syukuran kemenangan. Apaan yang mau diayukuri kalau suara mereka jeblok?

Sandi malah terang-terangan menyatakan KPU telah bekerja maksimal. Pemilu 2019 berjalan cukup fair dan adil. Tidak seperti Prabowo yang masih sibuk memaki dan menuding kecurangan Pemilu seperti orang kalap.

Sebelumnya, Partai Demokrat juga sudah menarik diri. Tidak mau terlibat dalam kekonyolan berjamaah. Sebagian politisi Gerindra mulai sedikit waras. Pelan tapi pasti bisa menerima kenyataan meski pahit, seperti menggigit mahoni.

PAN, Demokrat, Sandiaga Uno, dan sebagian politisi Gerindra masih punya ruang dan masa depan dalam lapangan politik. Makanya mereka tidak mau namanya ikut ambruk dalam ketidakwarasan. Buat apa membuang-buang waktu, nama baik dan energi untuk menari hula-hula di Istana Kartanegara. Jika akhirnya menjadi bahan tertawaan orang se dunia.

Bahkan PKS memilih melipir. Mereka sudah memetik manfaat dari hasil menunggangi kampanye Prabosan yang bernuansa agama. Politik identitas berhasil menaikkan suara PKS di Pileg secara signifikan. Sedangkan Gerindra ternyata tidak mendapat tambahan suara banyak. Padahal sudah habis-habisan mengeluarkan sumber dayanya.

Lantas, siapa yang masih mengelilingi Prabowo sekarang hingga dia masih ngotot dengan narasinya? Mereka adalah orang-orang yang tidak punya masa depan politik jika Jokowi berkuasa.

Pertama adalah gerombolan Cendana. Partai Berkarya yang dibesutnya gagal di Parlemen. Padahal keluarga Suharto sudah habis-habisan merogoh kocek untuk membesarkan partai ini. Harapan satu-satunya ialah pada Prabowo. Jika Prabowo jadi Presiden, mereka berharap kejayaan imperium Soeharto bisa dibangkitkan kembali. Makanya mereka masih terus mendorong-dorong mantan iparnya untuk ngotot menentang Jokowi.

Ke dua adalah pemain-pemain lepas yang gak mungkin mendapat tempat di Pemerintahan Jokowi. Mantan-mantan menteri yang ditendang dari Kabinet Jokowi karena kinerjanya ngaco. Ada juga mantan pejabat, pensiunan tentara dan pensiunan birokrat yang kehilangan kenikmatan di Era Jokowi.

Yang paling berbahaya adalah para gerombolan pengasong agama yang sebetulnya punya aganda lain lagi. Prabowo sadar, gerombolan ini sebetulnya bukan orang yang kepengin banget dia jadi Presiden. Mereka mendukung Prabowo hanya sasaran antara saja. Targetnya sih, mau mengubah Indonesia jadi negara agama.

Gembong HTI, FPI, atau FUI berusaha mendompleng Prabowo. Mumpung ada kesempatan. Gak mungkin mereka berada di gerbong Jokowi. Selain berseberangan dengan partai nasionalis di sana juga ada NU. Secara ideologi NU gak mungkin mau nyampur dengan manusia sejenis mereka.

Kepada Prabowo HTI, FPI, GNPF atau FUI menawarkan masa militan. Menawarkan gerombolan yang siap dikorbankan jika saja Prabowo mau melanjutkan protesnya menjadi people power. Wajar sih. Doktrin agama yang salah kaprah bisa dimanfaatkan menyihir massa untuk siap dikorbankan. Inilah yang ditawarkan kepada Prabowo.

Kalau diperhatikan sejak awal masa kampanye, gerombolan ini yang rasanya paling berpengaruh. Lihat saja model kampanyenya Prabosan. Nuansa agama lebih dominan ketimbang nuansa nasionalis. Prabowo dicitrakan mirip Rizieq. Sejak awal, gerombolan ini mencoba menanam jasa dengan menggelar Ijtima Ulama sebagai legitimasi agama untuk Prabowo.

Gerindra yang semestinya partai nasionalis tidak kelihatan bentuknya. Kampanye Prabowo kadang dihiasi dengan bendera HTI dan orang-orang berbaju koko dan celana cingkrang. Sama sekali gak ada kesan nasionalisnya. Kondisi inilah yang menguntungkan PKS.

Dampaknya sangat terasa untuk partai koalisi Prabosan. Suara Partai Demokrat anjlok. Suara PAN juga gak bergeming. Sedangkan Gerindra hanya nambah sedikit. Yang panen adalah PKS. Dengan kata lain, PKS berhasil menunggangi Prabosan untuk kepentingan partainya. Tepatnya PKS mengambil manfaat paling besar dari pengaruh gerombolan garis keras di sekitar Prabowo.

Kini Prabowo mulai ditinggal rekan-rekannya. Mereka menjauh karena rasionalitas mereka mengatakan gak ada gunanya terus bertahan bersama seorang pecundang. Jika Prabowo tetap hidup dalam khayalannya, buat apa diikuti. Gak ada gunanya juga berjalan bergandengan dengan seorang penderita delusi.

Sebetulnya sekarang Prabowo bisa mengurangi kekalahannya. Ia bisa mulai pelan-pelan menyadari kenyataan. Lalu kembali ke kodratnya sebagai seorang nasionalis dan patriot. Jangan lagi mau dijadikan bahan tunggangan keluarga Cendana dan HTI.

Gak usah malu untuk balik badan. Mengikuti proses penghitungan suara KPU. Sebab itulah yang semestinya dilakukan. Agar Gerindra sebagai partai nasionalis tidak kehilangan pijakan. Agar ia bisa menyusun rencana-rencana baru masa depan.

Toh, meskipun dia jerit-jerit di jalanam sambil guling-gulingan juga suara di KPU gak mungkin berubah. Kalau dia kalap lalu mengajak pengikutnya bertindak anarkis, yang akan menari justru orang lain. Namanya hanya akan dikenang sebagai pengacau Indonesia.

Sedangkan HTI dan sejenisnya justru menunggu Prabowo kehilangan kontrol dirinya. Lalu akan ditunggangi lagi untuk kesekian kalinya.

“Iya mas. Sebaiknya ia santai-santai saja di Ranch-nya. Menunggang kuda. Ketimbang jadi bahan tunggangan HTI lagi,” ujar Abu Kumkum.

Tumben waras, nih anak…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.