Kolom Eko Kuntadhi: TUAN RUMAH TERKEJAM DI HARI LEBARAN

Kisah hikmah lebaran, pernah diposting tahun lalu

 

Saya tahu, teman saya adalah tuan rumah yang kejam. Tapi lebaran kali ini, saya tetap harus mendatanginya. Seberapa kejamkah dia, hingga saya tidak mau berlebaran? Saya rasa sekejam apapun dia sebagai tuan rumah, saya tidak punya alasan untuk memutus silaturahmi.

Jadi, pagi ini, di hari raya yang agak mendung, saya telah duduk di ruang tamunya. Setelah berbasa-basi, saya melirik kaleng Khong Guan di atas meja. Saya membayangkan sebentar lagi menggigit biskuit dengan kismis di dalamnya. Ini salah satu jenis yang paling saya suka.

Ternyata kekejaman tuan rumah belum berubah. Saat saya membuka kaleng biskuit, saya hanya menenukan rengginang warna merah jambu. Keras dan kasar. Ini jenis penipuan klasik saat lebaran. Mungkin nasi aking untuk membuat rengginang kurang lama dijemurnya, hingga alot digigit. Butuh setengah jam untuk menghabiskan sepotong rengginang.

Meskipun dia adalah tuan rumah yang kejam, tapi saya adalah tamu yang beradab. Tidak mungkin saya campakkan rengginang alot itu di depan mukanya. Itu sungguh tidak sopan.

Obrolan kami terus dilanjutkan. Mata saya tertumpu pada toples nastar. Bentuknya bulat terbuat dari plastik transparan. Isinya kelihatan masih penuh. Saya tertarik dengan irisan keju kecil di ujungnya.




Pelan-pelan tangan saya meraih toples kecil itu. Tanpaknya masih baru. Mungkin karena saya tamu pertama yang datang ke rumahnya pada lebaran ini. Tapi saya kesulitan membuka tutupnya. Sepanjang obrolan saya sibuk mencari ujung selotip yang merekatkan tutup toples itu. Sial. Saya menghabiskan 30 menit berbasa-basi dengan jari tangan terus memutari tutup toples. Hasil akhirnya nihil. Entah di mana ujung selotip itu berada.

Sudahlah. Nastar memang belum rezeki saya, pikirku. Bagaimana jika kacang atau kolang kaling? Hmmm, boleh juga. Tapi kacangnya juga berada di toples yang sama dengan nastar. Masih penuh isinya. Saya trauma dan tidak berani lagi mencari ujung selotipnya. Trauma itu telah meninggalkan bekas sangat dalam pada diri saya.

Mungkin hanya manisan kolang-kaling rezeki saya. Penutupnya pasti gampang dibuka, sebab ini adalah toples beling. Tidak mungkin ada selotip mengitari tutupnya.

Seetttt, saya beraksi. Merengkuh toples kolang kaling dengan sekali gerakan. Alhamdulillah, benar saja. Buka menutupnya memang gampang.

Tapi, busyet dah. Rupanya tuan rumah yang kejam ini tidak menyiapkan piring kecil beserta sendoknya. Lalu bagaimana caranya saya makan manisan kolang kaling, yang licin dan lengket itu? Apakah saya harus mencomot sebiji lalu memasukannya langsung ke mulut? Ah, itu sangat tidak sopan.

Tapi apakah saya harus pulang dengan tangan hampa? Hanya para pecundang saja yang menyerah sebelum bertempur, pikirku. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk. Saling bersahutan. Lalu berbagai rencana mulai disusun di kepala saya. Tapi untuk menjalankannya saya butuh situasi yang kondusif.

Untung saja ada tamu lain yang mampir ke rumahnya. Sepertinya tamu itu cuma sekadar mengucapkan selamat lebaran, berbasa-basi sebentar, lalu berharap dosanya dihapus seperti tulisan dibubuhi tip-ex.

Saya melihat teman saya, sebagai tuan rumah beranjak untuk menyambut tamunya yang baru. Juga penuh dengan basa-basi. Senyum yang kering sambil menampilkan keramahan palsu.

“Yuk, mampir. Dicobain dulu ini kuenya,” ujar teman saya.

Suaranya dilembut-lembutkan. Tamunya, seperti biasa, tahu itu cuma tawaran basa-basi, juga membalas dengan basa-basi.

Tapi obrolan singkat yang basi itu adalah momentum bagi saya yang harus dimanfaatkan dengan baik.

Buru-buru tangan saya masuk ke toples manisan kolang-kaling. Saya mencomot satu buah. lengket dan licin, seperti mencomot lintah berlendir. Begitu saya angkat kolang-kaling yang licin itu malah melompat keluar. Melejit dari genggaman tangan, jatuh ke lantai. Menggeletak dekat kaki tuan rumah yang kejam itu.

Untung saja dia tidak memperhatikan kolang-kaling yang lompat seperti lele. Saya rasa saat itu dia masih sibuk berbasa-basi dengan tamu barunya.

Kakinya bergerak sedikit. Saya mulai khawatir, ketika langkahnya mendekati biji kolang kaling di lantai meramik itu. Ah, benar saja. Dia menginjak kolang-kaling yang licin, lalu –gubrak! Saat tubuhnya oleng sebelah tanganya meraih taplak meja. Segelas kopi ikut tumpah menyiram baju koko barunya yang berwarna putih bersih.

Semua berteriak histeris. Saya memlilih lompat, ketimbang ikut tersiram kopi. Saya menikmati adegan gubrak itu. Hanya saja sebagai tamu yang baik saya menahan tawa saya untuk nanti. Ketika teman itu belepotan kopi, dan baju koko barunya penuh percak hitam, saya menyempatkan diri mengambil gambar dengan kamera ponsel.

“Ini pemandangan paling indah di saat hari raya,” pikir saya.

Dia lalu beranjak ke belakang, tampaknya ingin membersihkan diri dan berganti baju. Setelah dia keluar kembali, saya buru-buru pamit pulang. Sebetulnya dia menahan saya, tapi seperti biasa, saya beralasan harus ke rumah famili lain. Jadi dia tidak mungkin menahan saya terus di ruang tamunya.

Ketika berpamitan, dia memeluk saya sangat erat. Saya pikir dia merasa berat melepaskan sahabat lamanya ini. Kami memang jarang bertemu. Mungkin hanya setahun sekali saja. Itupun kalau saya tidak malas mengunjunginya. Tapi rupanya bukan itu. Dalam pelukan eratnya dia berbisik.




“Aku tahu kamu sengaja menjatuhkan kolang-kaling ke dekat kakiku,” katanya.

Pelukannya tambah erat.

“Kamu juga sengaja menambah selotip di toples nastarmu. Sampai berlapis-lapis,” jawabku tidak mau kalah.

Lalu dia melepaskan pelukannya. Memandang wajahku dalam-dalam.

“Kamu tidak berubah,” katanya lagi. Kali ini wajahnya serius.

“Kamu juga tidak berubah. Lebaran tahun lalu, semurmu cuma berisi lengkuas. Aku makan ketupat hanya dengan kuah semur sambil menghisap-hisap lengkuas. Aku masih ingat itu,” balasku.

“Tapi tahun lalu aku menyediakan permen karet untuk suguhan lebaran,” dia seperti membanggakan diri.

“Iya. Kamu juga menyajikan tepung gula. Kalau permen karet sudah gak manis, kamu mempersilahkan tamumu mencocolnya dengan tepung gula, agar manis lagi. Lalu meminta mereka mengunyahnya kembali. Begitu terus berulang-ulang. Mulut kami terus mengunyah, gak sempat makan kue yang lain,” balasku.

“Aku berusaha jadi tuan rumah yang baik meski harus mengorbankan baju baruku.”

“Siapa bilang. Kamu adalah tuan rumah yang kejam.”

Lantas kami saling berpandangan. Dalam sekali.

Lalu kami tertawa. Tertawa sangat keras di hari yang fitri itu. Karena hidup begitu menyedihkan, kami ingin tertawa-tawa saja sepuasnya.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.