Kolom Eko Kuntadhi: TUMBANGNYA SEBATANG POHON CEMARA

Minggu pagi. Seekor burung gereja dikagetkan suara azan subuh. Malam itu dia tertidur di celah kecil kubah sebuah masjid. Ketika bangun dia bingung, apa dirinya sudah menjadi mualaf?

“Seekor burung gereja boleh saja menjadi mualaf. Tidak ada yang melarang. Tapi ingat dia tetaplah burung gereja,” kata temannya.

“Meskipun aku membangun sarang di kubah masjid?”

“Iya, kalaupun kamu membangun sarang di kubah masjid. Kodratmu tetap burung gereja.”

Dia teringat pohon cemara di depan sebuah masjid di Aceh. Pohon itu rindang dan bagus. Tapi ada orang-orang tolol di sana. Pohon itu ditebang, sebab menyerupai pohon Natal.




“Kenapa pohon itu tidak memilih jadi mualaf saja agar tidak ditebang?” tanya seekor burung gereja yang gelisah.

“Kamu fikir dengan dia ikhlas menjaga pelataran masjid, dia bukan pohon mualaf?”

“Tapi orang tetap mengenalnya sebagai pohon Natal. Pohon Kristen,” sanggahnya.

“Entahlah. Mereka tidak pernah bilang pohon kelapa sebagai pohon Hindu. Padahal dalam upacara keagamaan Hindu Bali, sering menggunakan daun kelapa sebagai bagian dari pernak-pernik upacara.”

“Mungkin karena kelapa identik dengan Pramuka. Bukan dengan agama.”

“Pramuka yang beragama hindu,.”

“Iya, hahahahhaha…”

Burung gereja itu tertawa. Tapi dia tetap bingung dengan statusnya. “Jadi aku sekarang mualaf, ya, karena tidur di kubah masjid semalam?”

“Apa pentingnya kamu menyibukkan apa agamamu?”

“Aku bingung. Apakah tidak berdosa burung gereja yang membuat sarang di masjid?”

“Dosa dan pahala urusan Tuhan. Kita hanya jalani saja.”

“Meskipun sebagai burung gereja aku bersarang di masjid?”

“Temanku membuat sarang di rumah bordil,” kisahnya.

“Tapi dia biasa-biasa saja. Padahal setiap malam tidur sering terganggu dengan suara rintihan dan lenguhan. Semacam suara Kuntilanak sedang demam. Dia tidak berubah menjadi burung binal. Perilakunya tetap kalem seperti layaknya tekukur. Artinya, agamamu tidak ditentukan oleh lokasi di mana kamu membuat sarang.”

“Jadi aku tetap burung gereja?”

“Hakekatnya memang burung gereja. Tidak mungkin berubah. Jikapun kamu nanti berganti menjadi burung masjid, kamu tetap harus menghargai status lamamu.”

“Maksudnya?”

“Kamu boleh jadi burung masjid, tapi jangan menjelekkan gereja. Jangan mencaci status lamamu seolah kamu tidak mensyukuri dilahirkan oleh ibu seekor burung gereja.”

“Ini maksudnya saya tidak boleh meniru Felix Siauw atau Irene Handono?”




“Iya, mereka adalah seburuk-buruknya perilaku. Pertebal saja keyakinannya, tanpa harus menjelekkan keyakinan orang lain. Tidak ada kebaikan yang keluar dari keburukan.”

Burung gereja galau itu kini lebih tenang hatinya. Sebuah obrolan telah membuka wawasannya.

“Tapi mas,” dia masih penasaran. “Apakah nanti di Aceh itu semua pohon Cemara akan ditebang?”

“Jangan kuatir. Di sana masih banyak pohon ganja…”









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.