Kolom Eko Kuntadhi: VAKSIN LOKAL

Lelaki itu mengangkat lengan bajunya. Jubah berwarna cokelat muda disibakkan. Usianya memasuki 81 tahun. Hari itu, ia menerima suntikan pertama vaksin Covid-19. Ia tidak disuntikan dengan vaksin Sinovac, Astra Zeneca, Pfizer, Moderna, Sinopharm, Johnson & Johnson, atau segala merek yang kita kenal. Lelaki itu disuntikan vaksin Barekat. Vaksin asli yang diciptakan oleh putra-putrI bangsanya.

Barekat atau berkat atau berkah, ditemukan oleh Prof. Dr. Minoo Mohraz, seorang peneliti dari Universitas Teheran.

Perempuan berusia 74 tahun itu bekerja keras menghasilkan vaksin sendiri untuk bangsanya. Prof. Mohraz adalah peneliti penyakit infeksi. Ia bahkan penemu salah satu obat HIV yang diakui dunia. Mungkin saja pasien-pasien HIV di AS dan Eropa pernah juga mengkonsumsi obat hasil temuan Prof. Mohraz ini.

Kini wanita bersahaja itu berhasil membuat vaksin, yang cara kerjanya mirip Sinovac. Terbuat dari virus yang dilemahkan. Kabarnya vaksin Barekat ini punya daya tangkal Covid-19 mencapai 85% lebih.

Dan hari itu, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei mendapatkan suntikan vaksin pertamanya. Suntikan vaksin terhadap Sayed Ali Khamenei adalah simbol, bahwa Iran mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Saya ingat saat Covid-19 pertama kali melanda dunia. Iran adalah salah satu negeri yang terkena gelombang paling parah. Rumah sakit penuh pasien. Jenazah berserakan. Duka dan tangisan terdengar di sudut-sudut kota. Tapi AS dan sekutunya tidak juga mau membuka embargo terhadap negeri itu.

Obat-obatan dan APD dilarang masuk. Tabung oksigen dan jarum suntik terhalang sikap politik. Semua lembaga keuangan dunia tidak berani berhubungan dengan Iran. Dunia saat itu seperti menyaksikan sebuah bangsa yang bergeliat sendiri di tengah hantaman virus. Tertatih-tatih.

Akses mereka ke perdagangan internasional dibatasi. Bahkan untuk sekadar membeli obat dan jarum suntik. Politik AS tidak peduli dengan isu kemanusiaan. Bahkan di saat bencana sekalipun. Embargo tidak ada pengecualian. Iran tetap dibatasi geraknya.

Sementara kita tahu, bahkan AS dan Eropa saja pernah teriak-teriak kekurangan APD. Mereka pernah puyeng mencari produsen ventilator dunia untuk diborong ke negaranya. Praktis tidak ada negara yang sanggup menghandle bencana ini sendirian. Iran pun sama.

Tapi jahatnya politik AS dan sekutunya membuat mereka dipaksa berjuang dengan apa yang ada. Untung China mengulurkan tangan untuk negeri itu. Bantuan China berdatangan ke Iran menutup sedikit luka mereka. Meski terbatas, tapi bantuan seperti itu sangat penting untuk sebuah negara.

Mungkin Iran adalah bangsa yang dipaksa keadaan harus tumbuh dengan tangannya sendiri. Dengan segenap kekuatannya negeri itu berjuang untuk terus eksis. Hasilnya, mereka bisa menghasilkan vaksin sendiri. Mulai menyuntikkan rakyatnya dengan vaksin.

Dan semua dilakukan dalam tekanan dunia yang tidak punya perasaan bahkan dengan orang yang sekarat.

Saya pernah mampir ke Iran. Sekitar 2015. Menikmati taman-taman kota di kota suci Qom dan Masyad. Di Iran, bisa dibilang saya gak pernah bertemu mobil bagus. Kendaraan yang berlalu lalang modelnya kayak mobil tahun 1990-an.

Ada beberapa merk luar yang masuk, seperti Peugeot. Itupun tidak ada model terbaru. Yang paling gres ya, model Peugeot 405 itu. Tapi kebanyakan mobil merek lokal. Iran punya Khodro, Dena dan Saipa. Nah, merek-merek itu banyak saya temukan di jalan Iran. Mobil produksi lokal negeri Persia tersebut.

Demikian juga dengan sepeda motor, mesin pabrik, dan perangkat lainnya. Iran harus memproduksi sendiri di tengah embargo. Bahkan karena ancaman yang terus menerus sementara terkungkung oleh pembatasan, Iran akhirnya berhasil mengembangkan peralatan militernya sendiri.

Justru kini angkatan perang Iran menjadi salah satu yang ditakuti dunia. Saya gak tahu. Apakah vaksin produksi Iran itu juga akan diekspor untuk negara-negara lain. Yang pasti dunia saat ini sedang berebut mendapatkan vaksin.

Ada negara yang berlimpah. Karena banyak uang bisa membeli vaksin sesuai kebutuhannya. Ada juga yang hanya melongo. Menyaksikan rakyatnya tumpas diterjang virus. Sementara pemerintahnya gak punya cukup duit untuk berburu vaksin. Meskipun dunia juga membentuk kesepakatan untuk distribusi vaksin ke manapun.

Kita di Indonesia beruntung juga. Pemerintah Jokowi sudah mendapat komitmen 400 juta dosis vaksin COVID-19. Makanya Presiden Jokowi ngotot agar kita bisa melakukan vaksinasi 1 juta orang per hari. Lalu naik jadi 1,5 juta sehari. Lalu 2 juta per hari. Dan diharapkan sampai 2,5 juta per hari.

Semuanya gratis!

Mengenai Prof. Minoo Mohraz sebagai pahlawan pendenerita HIV-AIDS, lihat vidionya di youtube.

Sementara itu di laboratorium-laboratorium kita, para ilmuan juga masih berjibaku. Kita berharap akan lahir vaksin asli Indonesia. Buatan anak Indonesia. Sebab khabarnya, virus ini gak akan lenyap begitu saja. Mungkin akan bertahan lama sekali. Tapi nanti akan jadi mirip virus influenza. Kita terserang, istirahat sebentar. Minum paracetamol lalu sembuh.

Artinya, kita akan butuh vaksin dalam waktu yang lama. Jika saja kita akhirnya menemukan vaksin asli buatan Indonesia. Itu akan sangat meringankan kantong negara. Tapi untuk mendorong keseriusan kita menghasilkan dari tangan sendiri. Apa perlu kita di embargo dulu?

“Mas, kita juga butuh vaksin anti Kadrun. Virus mereka makin merajalela juga sekarang,” usul Abu Kumkum.

Setuju, Kum!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.