Kolom Eko Kuntadhi: WAHAI KAUM PEMBENCI BUNGA, MENYERAHLAH!

Kemarin sore, sebagian besar dari kami menghabiskan waktu libur dengan santai. Kami duduk di depan TV menikmati hiburan yang kalian pertunjukan. Kami sekeluarga menertawakan kalian yang datang bergerombol ke Balai Kota, lalu membakar bunga-bunga. Wajah kalian yang polos dan lucu, selalu menggemaskan. Membuat orang sering tidak sengaja membanting gelas di tangannya.

Bahasa kalian yang rajin memaki, selalu mengundang iba. Orang yang kebetulan mendengarnya pasti terdorong mengeluarkan sedekah.

Sambil makan singkong goreng, kami reriungan di ruang keluarga menyaksikan aksi kalian. Kami mendengar seorang berorasi. Berbicara dari atas mobil dengan speaker besar (Sedangkan kami berbarengan mengunyah singkong, kriukk).

Mulanya kami menyangka kalian adalah para buruh yang biasa berdemonstrasi setiap 1 Mei menutut perbaikan kesejahteraan. Tapi ternyata kalian cuma kampret. Sebab seumur hidup kami, baru kali ini hari besar buruh sedunia diisi dengan demonstrasi untuk melawan bunga-bunga.

“Jika karangan bunga ini tidak dibersihkan sampai tiga hari, kami akan kembali lagi ke sini. Kami akan bawa masa lebih besar lagi.”

Tolong, teh manisnya, dong…

Anak-anak bersorak gembira melihat adegan orang-orang merubuhkan karangan bunga. Lalu membakarnya dengan bengis. Mereka mengira sedang menonton Kungfu Panda.

Ibunya menasehati: “Nak, lihatlah. Jika kamu sering makan mecin, itulah akibatnya. Nanti ketika besar kamu akan berperang melawan bunga-bunga.”




Ayahnya menambahkan: “Rajin-rajinlah belajar. Agar kita semua tidak menjadi mahluk yang suka membakar bunga-bunga. Kamu tahu apa itu mahluk yang suka membakar bunga-bunga? Yaitu sejenis kutu kupret yang sedang diare.”

“Ayah, bagaimana jika mereka terus membakari bunga-bunga?”

“Tidak apa-apa. Nanti kita kirimkan lagi bunga yang lebih banyak. Sehingga jika mereka ingin membakarnya, korek apinya tidak cukup untuk menghanguskan semuanya. Biar saja mereka kewalahan. Seperti kita juga akan terus menerus mengirimkan cinta sampai mereka kewalahan menerimanya.”

Pada malam harinya, di sepanjang jalan Balai Kota orang-orang berbaris. Mereka membawa lilin kecil dan segerobak cinta. Ratusan gerobak cinta. Ribuan gerobak. Jutaan gerobak. Memenuhi hamaman Balai Kota. Meluber sampai ke jalan.

Cinta berdatangan dari segala penjuru. Berbiak di mana-mana. Tidak akan ada orang yang sanggup menahannya. Tidak ada teriakan benci yang mampu melawannya. Cinta itu terus merembes ke seluruh Indonesia. Menghantui para pembenci bunga itu.

Para pembenci bunga kini terkepung. Ke manapun mereka berjalan yang disaksikan hanya cinta yang bermekaran. Ke manapun mereka pergi, cinta-cinta itu mengepungnya.

Seorang penceramah agama, masih dengan semangat menyulut kebencian dari atas mimbar. Para jemaah bangkit, mendekati mimbar. Lalu beramai-ramai mengguyurnya dengan cinta. Sampai basah kuyup.




Para politisi menyerukan kebengisan. Rakyat mendatangi rumahnya, menanamkan bunga-bunga cinta di halaman. Sehingga besok mulutnya akan kelu dibungkam oleh cinta yang berserakan di depan kamar tidurnya.

Organisasi preman berjubah agama, memekikkan nama Tuhan. Yang diteriakkan bersama kebencian. Umat datang berduyun-duyun. Membacakan shalawat, sebuah pesan cinta kepada Nabi. Lalu gema cinta naik ke langit. Berbuah hujan yang membahasi semuanya.

Jemaah-jemaah gereja bernyani lagu cinta. Pengunjung Vihara membisikkan ungkapan cinta. Di lapangan bola, para pemain berlari, mengejar cinta. Para serdadu mengokang senjata, menembak udara dengan cinta.

Wahai kaum pembenci bunga, menyerahlah pada kedalaman cinta kami…






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.