Kolom Eko Kuntahi: JAKARTA “MENSABOTASE” JOKOWI

Setelah ramai-ramai Pilkada di berbagai daerah, sepertinya kita harus kembali ke alam nyata. Warga Jakarta harus balik lagi memikirkan kotanya sekarang.




Apa yang terjadi pada kota ini? Sejak terpilihnya Gubernur dan Wagub baru sepertinya Jakarta malah berantakan. Coba lihat pedagamg kaki lima yang sudah tertata kembali mengokupasi jalan.

Di Tanah Abang, yang terlihat malah kekacauan. Tidak peduli melanggar UU, kaki lima sembarangan saja menggelar dagangannya. Bahkan difasilitasi oleh Pemda DKI.

KJP mandeg, jauh dibanding sebelumnya. Pasukan Oranye yang biasanya sigap ketika ada banjir sedikit saja, kini menghilang. Entah ke mana. Rakyat seperti dibiarkan sendirian. Birokrasi Pemda kembali pada tabiatnya lagi.




Yang paling memuakkan, sebentar lagi kota ini akan menjadi tuan rumah Asian Games. Ketika mata internasional tertuju pada Indonesia, rasanya tidak ada langkah serius yang dilakukan Pemda untuk menyambut even besar bangsa ini.

Kemarin, Presiden Jokowi sudah meninjau venue digelarnya Asian Games. Meninjau kesiapan infrastrktur. Wajar. Sebagai Presiden, Jokowi merasa berkepentingan Asian Games sukses. Hitung-hitungannya akan ada dampak ekonomis dan citra bangsa di mata dunia juga lebih moncer.

Di Palembang, Pemda sibuk bukan main memepersiapkan diri jadi tuan rumah. Semua sarana dan prasarana disiapkan. Gema Asian Games sangat terasa di kota itu.

Bagaimana Jakarta?

PR Pemda DKI untuk memperbaiki trotoar saja sampai sekarang masih keleleran. Belum lagi tidak ada semangat sama sekali untuk ikut merasakan bahwa Asian Games merupakan even bangsa. Jakarta seperti tidak peduli pada perhelatan akbar itu.

Ok-lah, Gubernur dan Wagub secara politik tidak sejalan dengan Presiden. Tapi Asian Games bukan soal politik. Ini soal wajah bangsa Indonesia. Ini soal muka bangsa kita. Saya khawatir memang ada strategi politik yang mengorbankan rakyat. Juga meruntuhkan citra Indonesia yang ujungnya membuat jelek Jokowi.

Begini. Gubernur Jakarta baru dilantik baru 2017. Artinya masa jabatannya masih ada sampai 2023. Sementara Pilpres 2019. Kalau selama 2017 sd 2019 Pemda Jakarta melakukan oposisi terhadap Pemerintah Pusat, artinya tidak berbuat apapun dengan maksimal, yang akan merasakan dampak elektoral adalah saat Pilpres. Dan yang dirugikan adalah pejabat Presiden petahana.

Sebab, rakyat gak bisa membedakan mana urusan Pemda mana urusan Pemerintah Pusat. Ketika dirasa pemerintahan amburadul dan kacau serta rakyat merasa kehidupannya berantakan, tudingan akan langsung diarahkan ke Jokowi. Begitupun jika even Asian Games tidak maksimal. Yang kena tuding pasti Menpora atau Pemerintah Pusat.




Syukur kalau Asian Games berjalan bagus. Pemda DKI akan dapat nama. Kalau berantakan, yang disalahkan adalah pihak lain. Logika aja deh. Seaneh-anehnya Sandiaga, dia adalah seorang CEO perusahaan besar. Masa sama sekali gak ada perhatian untuk pembangunan Jakarta? Padahal dia adalah wakil CEO di Jakarta, kan?

Kalau Anies memang kita jangan berharap hasil nyata. Suruh pidato saja. Kemampuannya memang cuma di situ. Berdosa kita jika mengharapkan sesuatu di luar lemampuan orang tersebut. Sama saja mengharapkan Upin-Ipin masuk SMP.




Poinnya adalah gak logis Jakarta sampai sekarang dibiarkan amburadul begini. Separah-parahnya kemampuan mereka pasti ada satu-dua yang dihasilkan. Berbeda jika ini semua adalah bagian dari perencanaan dan strategi politik.

Kita tahu rakyat kita kebanyakan ingatannya pendek. Jadi, rusak di dua tahun pertama gak apa-apa. Toh jika dampaknya buruk, yang terkena imbas adalah Jokowi. Biarkan saja kerusakan Jakarta itu akan membuat kekecewaan orang pada Jokowi memuncak.

Toh, nanti di ujung masa jabatan bisa diperbaiki lagi. Gelontorin saja program sosial di tahun terakhir. Karena, sekali lagi, rakyat ingatannya pendek.

Jakarta yang kacau dan rusak lebih bisa dinilai sebagai tidak berprestasinya pemerintah. Siapa pemerintah di mata rakyat? Ya, Jokowi. Bukan Anies atau Sandi.

Sekali lagi, rakyat yang kebanyakan membeli paket data seharga gocengan masih gampang dikelabui. Makanya, jika kemudian Jakarta babak belur seperti sekarang, faktor kesengajaanya terasa lebih kuat dibanding faktor ketidakmampuan Gubernur dan Wakil Gubernurnya.

Kecuali jika saat Pilkada Jakarta kemarin, rakyat bukan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Tapi mereka hanya mencoblos gambar ondel-ondel.

“Ternyata terpilih, mas,” ujar Abu Kumkum.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.