Kolom Ganggas Yusmoro: Ketika Ibu Negara Dikata Tak Pantas, Kita Belajar Banyak dari Gibran

Kita semua tiba-tiba harus terhenyak dalam geram, darah serasa mendidih tatkala seorang Ibu Negara dilecehkan, dikatakan (maaf) pelacur oleh seorang haters. Bagaimanapun juga beliau adalah simbol negara. Simbol martabat negeri ini.

Barangkali, jika ibunda kita-kita ini dikatakan begitu, wooo…. bisa jadi tidak terima. Bisa jadi akan melakukan apapun juga demi menjaga kehormatan. Namun, tatkala hal ini disampaikan kepada Ananda Gibran, apa jawabnya?

“Gak apa-apa. Dimaafkan saja.”

Duuh …. Jujur saya seperti tidak berdaya. Dada ini bagaikan dihantam palu godam. Seperti tersadarkan bahwa untuk memaafkan itu begitu indah. Ternyata memaafkan itu hidup lebih berarti.




“Betul ananda Gibran, bahwa dengan memaafkan, itu adalah sikap luhur yang terpuji. Dan keluhuran budimu itu membuat kami bangga, nak,” itu desahku dalam hati.

Tiba-tiba menyeruak wajah Pak Ahok, wajah polos yang telah berjasa, yang mengabdi buat bangsa ini, yang banyak membantu siapapun juga tanpa melihat suku, agama dan ras. Beliau dengan tulus sudah minta maaf, namun apa yang terjadi? Hujatan, hinaan, dan bahkan harus berdarah-darah digeruduk tanpa ampun. Pintu maaf tidak ada. Tidak ada maaf buat seorang Ahok. Harus diadili. Harus dipenjara.

Juga ketika seorang remaja tanggung yang konon dianggap melecehkan “junjungannya”. Remaja itu harus menanggung beban psikologis. Digeruduk. Ditampar. Dimaki-maki oleh mereka yang konon mengaku lebih beragama.

Jika begini, bahwa nilai keluhuran budi pekerti, nilai Spritual seseorang, ternyata tolok ukurnya bukan dari agama, bukan dari panjangnya jenggot, bukan dari pandainya melafadzkan ayat suci, bukan dari jidat yang menghitam. Bukan pula dari sorban sebesar kepala gajah yang disengat lebah.




Jika begini, tatkala nilai agama dari manusia yang dianggap mumpuni, bahkan dipanggil Ustads. Dipanggil Imam Besar, ternyata hatinya hanya sebesar kotak sabun. Hatinya sempit. Sulit menerima maaf. lalu belajar agama yang dipelajari apa?

Terimakasih ananda Gibran, Bangsa ini memang harus belajar jadi manusia. Manusia dengan kebaikan yang universal. Tidak musti hanya belajar dari seorang tokoh agama. Jika saja engkau punya jenggot, engkau tentu sudah kupanggil Ustads.

Tapi, saya yakin, engkau lebih suka jadi tukang martabak. Ya kan, Mas? Doa kami bersamamu, Ananda ….













Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.