Kemarin, ada yang bikin saya mengharu biru banget. Gimana nggak, saya nguping tidak sengaja perbincangan anak-anak di pabrik. Biasanya kan akhir tahun sibuk audit, stock opname, dlsb. Dalam meeting hari ini, saya update ke mereka stock opname akan dilakukan pada tanggal 26 Desember, sebelum liburan akhir tahun. Pas meeting semua setuju dan akan prepare di bagian masing-masing.
Saya nguping tidak sengajanya pas agak sorean. Ada yang bertanya: “Lek stock opname tanggal 26, Bu Ita gak onok la’an, pasti mulih ‘kan natal?”
Ada yang menjawab (suaranya anteng): “Wis tak omongi Natale diundur… ”
Beberapa orang langsung mendelik serentak.
“Hah?!!? Ngomong apa sih, Mbak? Gak oleh yo ngomong ngono kuwi, iku penistaan agama! Ngesakno lek gak mulih, kan Natal!”
Macam-macam lagi omongan mereka mengcounter si pemilik suara anteng yang mereka tuduh menistakan agama. Dientekno sampe mules. 😀
Akhirnya yang bersuara anteng berbunyi kembali: “Iyi, yo…. aku guyon rek, tapi ketoke wong e mundur mulihne, aku sajakne kurang percaya diri, takut onok masalah.”
Yang buat saya terharu, anak-anak yang saya curi dengar itu semua muslim. Dua orang diantaranya berkerudung. Tahun lalu juga saya pergi ke gereja di Malam Natal karena mereka juga. Mereka mendorong-dorong saya agar pergi. Katanya: “Mbok ya setane dicutikan sediluk… hahahaha.”
Kalah malu, akhirnya saya pergi ke gereja waktu itu
Secara dokumen, diantara ratusan karyawan mungkin gak sampai 5 orang kita yang Kristen, tetapi saya gak pernah merasakan perbedaan perlakuan maupun perbuatan. Sekalipun tidak pernah saya merasa tersisihkan.
Saya juga yakin, mereka memakai kata ‘penistaan agama’ gara-gara media dan peristiwa akhir-akhir ini. Mereka tidak mendalami ‘penistaan’ yang dimaksud dan memang tidak perlu. Saya tidak merasa dinistakan dengan guyonan ‘Natal diundur’, dan saya juga haqqul yakin mereka tidak berniat menistakan.
Hari ini indah sekali, benar-benar terharu. Saya rasa masih ada harapan untuk Indonesia.