Kolom Joni H. Tarigan: DASAR KAU!

Seringkali setiba di rumah, saya akan bertanya beberapa hal kepada anak dan istri. Pertanyaan itu sekitar bagaiman aktivitas mereka seharian, dan apakah mereka baik-baik saja. Pertanyaan yang setiap hari saya ulang kepada anak saya adalah “Bagaimana hari  ini nak, apakah kamu bahagia?” Jawabannya selalu membuat letih saya setelah seharian berkativitas di pekerjaan menjadi terlupakan, karena jawabannya selalu “Happy, pa!.”

Biasanya setelah anak saya memberikan jawaban “Happy” saya melanjutkan pertanyaan: “Apa yang membuatmu bahagia, bang? Apa saja kegiatanmu di sekolah?”




Tadi  malam setiba di rumah, saya tidak melanjutkan pertanyaan apa yang membuat anak saya “happy” dengan kegiatannya di sekolah dan di rumah. Saya langsung tancap gas berdiskusi dengan ibunya. Perihal yang kami diskusikan, mungkin seperti masyarakat umumnya sedang lakukan, yakni ASIAN GAMES yang telah selesai dilaksanakan. Sesekali menyerempet ke Olimpiade 2032 dan juga bonus demografi Indonesia, dan juga kereta cepat Bandung-Jakarta. Riak-riak Pemilu 2019 juga tidak luput dari perbincangan kami.  Diskusi semakin meriah, sekalipun sesekali saya tidak sependapat dengan istri.

“Eh, dasar kau, ya!”  Tiba-tiba kami terdiam mendengar teriakan ini.  

Saya dan istri  pun spontan mengarahkan pandangan ke arah suara itu datang. Suara itu datang dari anak kami yang saat ini sedang duduk di bangku TK.  Kami sangat terkejut, tetapi kami sama sekali tidak menunjukkan amarah. Kami justru dengan muka memelas belaskasihan terhadap anak kami. Kami menyadari bahwa kamilah yang salah, yang mengabaikannya.

Seperti biasa, sesampai di rumah, selain menanyai kebahagiaannya hari ini, saya juga menanyakan detail kegiatannya hari ini. Anak kami juga biasanya dengan antusias menjelaskan apa saja kegiatannya di sekolah, sambil menyerahkan buku catatan kegiatan dari sekolah. Semua ini kami abaikan tadi malam akibat sibuknya berdiskusi banyak hal di luar dari kehidupan rumah, di luar dari kehidupan kami.

Anak kami mengharapkan perhatian terhadap keberadaanya yang tepat di hadapan kami. Ia begitu dekat di hadapan kami, tangan kami pun mungkin tanpa sadar sedang mengelus pundaknya. Tetapi suara “DASAR KAU” itu menjadi bukti, bahwa kami membicarakan sosok “HANTU” di luar rumah. Ya, sebut saja HANTU, karena yang kami bicarakan di luar rumah dan mengabaikan anak kami.

Bagi kami orang Karo, “ KAU” adalah sebutan kasar bagi siapapun, apalagi dari seorang anak kecil terhadap orantuanya. Akan tetapi, dengan penuh ketulusan, kami meminta maaf kepada anak kami karena telah mengabaikannya. Kami juga berjanji tidak akan melakukannya lagi.

Kami membiasakan sebuah janji adalah hal yang sangat harus dijaga agar tidak sampai dilanggar. Sekalipun janji tidak bisa ditepati, maka kami juga berusaha memberi pengertian kepada anak. Hal ini menurut kami penting untuk memberi pandangan kepada anak agar merasakan bagaimana menjadi sosok yang berkomitment terhadap suatu janji atau kesepakatan.

Dari kejadian ini, saya pun membayangkan kehidupan masyarakat yang ahir-ahir ini saling ingin menunjukkan siapa yang benar siapa yang salah. Ibarat sebuah tongkat, hidup rasanya harus memilih ujung yang satu atau ujung yang satunya lagi. Banyak orang ketika memilih A, maka B harus disalahkan dengan berbagai cara. Perbedaan-perbedaan semakin membuat banyak orang saling membenci, tidak seperti  lampu yang menyala dengan adanya perbedaan muatan positif dan negatif dari muatan listrik.

Di media sosial juga kita saksikan bagaimana banyak orang sibuk membela yang satu, dan menjelekkan yang lain. Banyak orang membagikan keburukan orang lain, hanya untuk menunjukkan dia adalah bagian dari kebaikan. Banyak orang yang merasa begitu peduli terhadap kehidupan sosial bangsa dan negara, sehingga setiap saat harus membagikan atau update status di medsos untuk menegaskan posisinya yang lebih tahu dan lebih benar, dan orang lain salah dan pantas dihujat. Banyak orang yang begitu sibuk dengan dunia luar rumah, akan tetapi “APAKAH ANDA TAHU SIAPA ANAK ANDA SEBENARNYA??”.

Pertanyaanya kita ulang lagi “APAKAH ANDA TAHU HENDAK SIAPA ANAK ANDA SEBENARNYA?”

Mungkin anda merasa memiliki pemahaman bagaimana seharusnya negara ini, dan menghabisakan banyak waktu untuk menunjukkan pembenaran, tetapi apakah anda juga melakukan hal yang sama dengan anak-anak anda di rumah? Apakah anda menhabiskan waktu dan energy yang sama untuk mendengarkan cerita-cerita jenaka dari anak-anak anda? Apakah anda juga pernah berkaca dengan ikhlas, tentang siapa diri anda sebenarnya dalam diri anak anda?

Jika anda bekerja jauh dari rumah, apakah di waktu luang anda juga berusaha mendengarkan cerita anak-anak anda? Mendengarkan keluh kesah istri atau suami anda? Mari kita menjawab secara jujur, mari kita bercermin siapa kita sebenarnya, jangan-jangan kita adalah HANTU.

Mungkin kita LANTANG menghujat orang lain, akan tetapi GAGAP mendengarkan  anak kita, GAGAP mendengarkan istri atau suami kita. Jika demikian adanya maka “DASAR KAU, YA!!”



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.