Kolom Joni H. Tarigan: MEMBACA ITU CERMIN YANG DINAMIS

joni hendra tariganJauari 2015 merupakan kejadian yang tak akan terlupakan bagiku dan juga keluarga. Kepada anak cucupun akan kuceritakan apa yang terjadi saat itu. Mengawali Januari 2015, saya seharusnya mempersiapkan keberangkatan kembali ke Auckland (Selandia Baru), karena perkuliahan Master of Energy akan segera dimulai di University of Auckland, setelah menyelesaikan Post Grade Geothermal Technology pada 2014.

Perjalanan kembali ke Selandia Baru tidak saja tertunda, tetapi juga perjalanan itu sama sekali tidak pernah terjadi lagi sampai saat ini. Setelah melihat nilai rata-rata yang saya peroleh pada perkuliahan 2014, maka saya dinyatakan tidak bisa meneruskan perkuliahan ke Master of Energy. Hal tersebut memang diatur melalui kesepakatan dengan pihak pemberi beasiswa NZAID dari pemerintah Selandia Baru. Saya bisa saja melanjutkannya jika saya punya cukup uang yang kira-kira Rp. 600 juta untuk satu semester, yang mana dengan menjual harta orangtua pun tidak akan mencukupi.

Inilah yang telah tersurat di pikiran saya ketika itu, bahwa saya telah gagal membawa kebanggaan saya pribadi, keluarga, perusahaan, dan bahkan negara Indonesia. Begitu beratnya beban rasa malu terhadap kegagalan itu yang saya tanggung. Keluarga, kerabat, dan beberapa rekan kerja serta pimpinan kerja memberikan dorongan supaya saya tidak terlarut dalam kejatuhan mental. Jujur, tanpa mengurangi rasa hormat atas usaha mereka, apa yang mereka lakukan belum bisa menormalkan kehidupan saya. Akhirnya, saya putuskan membaca sebagai bagian untuk membangkitkan mental saya yang sudah sekarat.

Joni H. Tarigan 2Setiap berkunjung ke pusat perbelanjaan, toko buku Gramedia selalu menjadi persinggahan kami. Bahkan istri saya heran jika keluar dari Gramedia tanpa sebuah buku baru. Sejak Maret 2015, saya selalu menyisihkan uang untuk membeli buku berbagai kategori. Kadang buku yang saya beli tentang Filsafat, kadang tentang Biografi, kadan tentang motivasi, kadan tentang bisnis. Banyak sekali buku saya baca, sampai akhirnya saya  harus beli rak buku untuk menampungnya.

Soekarno, B. J. Habibie, Annies Baswedan, Mochtar Ryadi, Tahir, Jacob Oetama, William Soerjadjaya, dan Mahatma Gandhi. Biografi tentang mereka telah melantai di rak buku saya di rumah. Rheinald Kasali juga menambah daftar buku yang sudah saya baca sebagai buku self-development dan motivasi. Untuk pendidikan dan juga keuangan, saya begitu asyik melihat ulasan-ulasan Robert T. Kyosaki yang terkenal lewat bukunya Rich Dad Poor Dad pada 1997.

Ketika seseorang dengan tertawa menjelaskan kepahitan yang dialami, menandakan bahwa orang tersebut telah bangkit dari keterpurukannya.  Tulisan ini saya kerjakan dengan senyum dan penuh semangat. Artinya saya sudah bangkit dari kegagalan saya yang tidak bisa melanjutkan studi ke Master of Energy di University of Auckland. Saya bahkan dengan gembira sekali menuliskan ini, bahwa alih-alih mengobati keterpurukan mental saya, saya mendapatkan energy yang begitu menggetarkan kehidupan saya dan keluarga saya.

Lewat membaca berbagai macam buku, tanpa saya sadari, ternyata membuat saya seperti bercermin. Segala peristiwa yang saya baca selalu saya tarik ke dalam Joni H. Tarigankehidupan pribadi, keluarga, dan juga sekeliling saya. Pengalaman orang lain, baik atau buruk, menjadi penting bagi saya ketika membaca. Biasanya ketika kehidupan seseorang dituliskan, maka setiap kegagalan mereka juga mengulas cara mereka mengatasi masalah mereka. Hal tersebut membuat saya melihat kembali apa yang sudah, sedang, dan akan saya lakukan. Dengan membaca, harapan saya, saya tidak akan mengulangi kegagalan yang sudah pernah orang lain lakukan.

Apa yang orang lain lakukan dan tuangkan ke dalam buku menjadi cermin yang hidup bagi kehidupan saya pribadi dan keluarga. Kami ingin menjadi besar, dan untuk membuat lagkah lebih besar lagi, dibandingkan dengan orang lain yang tela berbuat besar dalam kebaikan, kami tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. Kesalahan itu sebaiknya bukan kesalahan baru, sehingga menjadi cermin kepada orang lain agar tidak melakukan keburukan yang berulang.




Begitulah membaca yang saya maknai. Menjadi cermin yang membuat hidup  itu begitu dinamis. Dinamisnya hidup ini tidak harus semua kita sendiri yang mengalami. Kesalahan-kesalahan pendahulu akan sangat mendorong kita untuk bergerak cepat dengan tidak mengulanginya. Motivasi yang besar, serta kesuksesan yang besar orang lain, menjadi vitamin percaya diri untuk melakukan yang baik bagi sesama dan lingkungan. Dengan mengetahui kesalahan orang-orang yang telah berbuat banyak bagi kebaikan, hal tersebut menjadi pendorong semangat untuk melakukan yang lebih besar lagi. Lewat membaca buku, cermin hidup yang dinamis ini, saya mampu melihat diri saya yang berbeda di masa depan.

Membaca adalah cermin kehidupan yang dinamis. Cermin yang di rumah kita adalah statis, memang jujur tetapi kita harus kemali ke cermin itu di masa depan jika ingin melihat lagi bagaimana kita di masa yang akan datang. Cermin dinamis memampukan kita melihat kehidupan kita pada waktu lampau, sekarang, dan mau jadi apa kita di masa depan.

SAYA MEMBACA, MAKA SAYA SEDANG BERCERMIN KEHIDUPAN.

Salam semangat dan perjuangan,








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.