Kolom Joni H. Tarigan: PENGHARGAAN DIRI SENDIRI PADA ANAK

Sejak anak kami berumur 6 bulan, saya sudah mulai mencari sekolah-sekolah yang kelak akan dituju anak kami ini. Saya sangat berterimakasih atas produk kemajuan teknologi saat ini, karena lewat komputer yang tersambung internet, banyak informasi berkaitan pendidikan di sekitar Kabupaten Bandung yang saya peroleh.

Proses pencarian inilah yang membuat saya mengenal dan mendalami metode pendidikan usia dini oleh Montessori. Sama seperti nama penemu metode ini, maka disebutlah metodenya sebagai Metode Montessori.




Berawal dari penelitian pendidikan terhadap anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, membawa keyakinan bagi Montessori bahwa metode yang saya dapat diterapkan bagi anak normal. Sangat masuk akal, sesorang yang mengalamai keterbelakangan mental saja dapat dididik, tentu saja akan sangat mudah diterapkan bagi anak normal.

Pencarian saya terhadap metode ini membuat keyakinan saya selama ini bahwa seorang anak dilhirkan memang dengan jiwa belajar. Keyakinan saya ini diawali dengan pengamatan saya bahwa, sejak di kandungan, seorang bayi sudah menunjukkan kreatifitasnya. Ketika ia mendengar suara ibu atau bapaknya maka  seorang anak dalam kandungan bisa berputar atau bahkan menendangkan kakinya. Dalam keadaan yang tenang sekalipun si bayi dalam kandungan akan terus bergerak.

Ketika lahir seorang bayi juga tanpa disuruh akan menangis. Tidak ada juga yang membimbingnya untuk membuka mata. Tanpa ada program apapun, ia kan mulai berbicara. Ia juga akan mulai berguling, tengkurap, dan merangkak. Semua itu dilakukannya sendiri tanda disuruh oleh orang lain. Seiring waktu ia sudah bisa mengungkapkan kegembiraan dan kesedihannya, ia juga sudah mulai belajar berdiri, belajar melangkah. Banyak aktifitas seorang anak yang sebenarnya tidak deprogram oleh orang dewasa.

Semua keadaan di atas membuat saya berkyakinan bahwa setiap orang terlahir dengan jiwa belajar. Itu adalah karunia Tuhan. Setelah membaca Metode Montessori, saya pun semakin lega karena apa yang saya pahami adalah benar tentang jiwa belajar anak.

Karena kemauan belajar datang sendirinya dari dalam diri anak, maka sesungguhnya kitao rang dewasa hanya bertugas sebagai pengawas agar jangan sampai proses pencarian keingintahuan anak tidak menimbulkan kecelakaan bagi anak itu sendiri. Kita orang dewasa tidak perlu memotivasi mereka. Bahkan mereka tidak perlu appresiasi ataupun hukuman dari pencapaiannya.




Suatu ketika, saya bersama anak saya bermain menempelkan huruf-huruf timbul yang besar ke dinding rumah kami. Sambil menempel, kami juga saling berbagi kesabaran. Saya sebagai bapak juga sambil bermain memberikan informasi huruf apa yang sedang kami tempel. Begitu anak ini mendengar nama huruf yang ditempelnya, ia pun mengucapkan huruf itu sambil meraba huruf itu dengan jarinya.

Begitulah salah satu praktek Montessori yang kami lakukan. Proses belajarnya adalah kami sedang bermain, akan tetapi ia mempelajari huruf, ia mendengar, meraba, sehingga dengan cepat ia mehami huruf-huruf yang ia tempelkan.

Setelah satu jam kami bermain dengan huruf, saya sangat terkejut. Anak kami tiba- tiba bertepuk tangan. “ Horeeeee,,, kita sudah bermain menempel huruf”” serunya. Keterkejutan saya berlanjut, karena anak ini dengan penuh semangat merapikan semua mainannya. Rak buku juga dirapikan. Selesai dari rak buku, ia juga merapikan kamar tidurnya.

 

Saya baru menyadari apa yang dikatakan oleh Maria Montessori bahwa anak tidak perlu apresiasi atau hadiah. Tidak juga perlu dihukum. Anak itu hanya perlu diberi kemerdekaan untuk belajar. Saya melihat itu pada anak kami. Karena ia merasa menyelesaikan masalah dalam permainan, dan saya tidak membatasinya untuk berkreasi, ia sangat senang.

Atas pencapaian tersebut ia menhargai dirinya sendiri. Selain tepuk tangan, merapikan semua ruangan adalah bentuk penghargaanya terhadap dirinya sendiri.

“Setiap anak adalah seniman,” begitulah kata Pablo Picasso.

Mari kita orang tua, memberikan hak mereka untuk belajar dalam kebebasan, dalam kemerdekaan sehingga ia memaknai kehidupan ini dengan kebahagiaan. Kita adalah bagaimana orang tua dan lingkungan kita dimasa lalu. Masa depan anak kita adalah cerminan bagaimana kita dan lingkungan kita saat ini.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.