Kolom Joni H. Tarigan: Pluttarch & Pablo Picasso Tentang Anak

Kemarin malam sebelum tidur kira-kira 21.40 WIB, saya dan anak saya Rafael, hendak gosok gigi. Tapi Rafael minta waktu sebentar, karena ingin melakukan sesuatu di kamar mandi. Ia pun membawa keresek putih, dan kemudian berusaha mengisinya dengan air pakai gayung.

Bagi saya ini menarik, anak kecil memegang keresek satu tangan, dan tangan yang satu lagi menimba air dengan gayung dan mengisinya. Anak ini memang bisa  mengisi air tapi tidak bisa penuh. Ahirnya aku membantunya setelah minta ijin membantu. Ya, saya membiasakan diri ijin membantu, karena kerap kali bantuan itu membuat ia marah, karena ingin menunjukkan ia bisa melakukannya.




Akhirnya air memenuhi keresek, hingga gembung. Saya penasaran apa yang dilakukannya setelah itu. Keresek air bersisi penuh pun diangkat tinggi-tinggi. Kemudian, ia menempelkannya ke seluruh mukanya. Setelah itu ia pun berteriak kencang. Tapi, ia mendapati suaranya tidak nyaring. Dia kembali berteriak sangat kencang, tapi tetap saja suaranya tidak nyaring. Ahirnya ketika suaranya tidak keras juga, maka ia pun mengigit keresek itu. Air tumpah, dan suaranya nyaring kembali. Ia pun tertawa, dan senyum tersiram air.

Saya langsung teringat pada Pablo Picasso yang menyatakan bahwa “setiap anak adalah seniman”.

Menurut saya juga ini berkaitan dengan Filsafat. Sederhananya menurut saya filsafat itu menemukan kebenaran dengan cara dan alasan yang benar. Kegiatan Rafael tadi menurut saya ingin tahu apa jadinya kalau keresek diisi air penuh, ketika melakukannya ia menemukan cara bagaimana mengisinya. Ketika melihat sudah terisi ia ingin merasakan bentuk keresek yang sudah gembung. Tanpa ia sadari ia berteriak, tapi suaranya teredam oleh air dalam keresek, dan ketika tumpah ia mendapati suaranya yang nyaring kembali. Saya melihat itulah seniman, menemukan hal-hal dalam kebebasan. Ia juga memahami kebenaran suara yang teredam dan nyaring.




Saya bersyukur, saya tidak menghambat sang senimanku ini. Kerap kali kita orangtua dengan cara berfikir kita mengahambat seorang anak untuk mencapai keingintahuannya.

Kita melarang jangan main air supaya tidak masuk angin, jangan main di halaman nanti kotor dan demam.

Jangan dipegang piring itu nanti pecah. Jangan lari-lari nanti jatuh, dan untuk menenangkannya kita memberikan gadget. Terlalu banyak kata melarang seorang anak, yang sebenarnya kitalah yang tidak tulus memberi waktu mendampingi anak menjadi seniman.

Saya yakin memang setiap anak adalah seniman, dan keyakinan itu saya upayakan dengan mendampingi anak kami. Saya memang jadinya tidak bisa begitu bebas berolahraga dengan teman-teman kantor, atau teman- teman di sekitar rumah. Banyak juga kesenangan yang tidak bisa saya jalankan karena mendampingi anak kami. Kerap kali, seorang anak melakukan hal-hal yang berbahaya atau tidak sopan dalam mengikuti jiwa senimannya. Di titik itulah kami orangtuanya hadir memberi alasan-alasan logis terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

Logis tentu sangat sederhana bagi seorang anak. Jika saya mengatakan tidak boleh merokok, akan tetapi saya sendiri merokok, maka ini tentu tidak logis bagi anak itu. Hal ini justru menimbulkan tanda tanya, dan bahkan kemudian merasa itu hanyalah kebohongan. Menjadikan anak tetap menjadi seniman yang menemukan kebenaran dalam kebebasan, maka saya yakin apa yang dikatakan Stevan R. Covey, bahwa  menjadi teladan jauh sangat baik dibandingkan dengan hanya menasehati atau persuasive, adalah sangat bijak dan baik untuk dilakukan.

Salam semangat dan perjuangan.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.