Kolom Juara R. Ginting: ADA APA DENGAN SUKU ASMAT?

Akhir-akhir ini, dikabarkan merebaknya wabah penyakit bernama Campak dan derita kekurangan gizi di kalangan Suku Asmat (Papua). Kita sisakan dulu sebentar mengenai penyakit Campak. Mari kita jenguk dulu soal kekurangan gizi atau istilah lainnya gizi buruk.

Biasanya, masalah kekurangan gizi tejadi di daerah-daerah slum (kumuh) perkotaan yang erat kaitannya dengan kemiskinan finansial (keuangan) sedangkan sumber-sumber gizi alamiah yang gratis tidak tersedia. Kekurangan gizi merupakan kasus langka di daerah pedesaan kecuali bila terjadi bencana alam, pacekelik atau perang sehingga sumber-sumber gizi alamiah yang gratis atau murah tidak tersedia atau sulit dijangkau.




Suku Asmat adalah salah satu suku di Papua yang sudah sempat terkenal secara internasional dengan ukirannya yang diperkenalkan ke berbagai tempat di dunia oleh mantan Menlu RI (Dr. Mukhtar Kusuma Atmaja SH) dan nantinya dilanjutkan oleh antropolog mantan Dirjen Permuseuman dan Kepurbakalaan (Dr. Subur Budi Santoso) yang juga merupakan salah seorang pendiri Partai Demokrat (PD).

Terbersit di dalam kenangan, sebelum kedua sepuh di atas memperkenalkan Asmat ke dunia internasional, Bangsa Indonesia secara umum mulai mengenal Suku Asmat oleh berita-berita penebangan kayu besar-besaran di kawasan hutan suku ini yang ditulis oleh Rudi Badil secara bersambung di halaman depan salah satu harian nasional. Konon, penebangan hutan ini melibatkan nama seorang jenderal kala itu.

Yang mengherankan saya, bagaimana sebuah suku yang orang-orangnya sebagian besar masih hidup berdekatan dengan alam liar hutan tropis bisa kekurangan gizi? Sebagai seorang yang pernah mengambil spesialisasi dan kemudian mengajar mata kuliah Antropologi Kesehatan, belum pernah mendapat berita tentang masyarakat yang hidup di hutan tropis dan masih sangat berdekatan dengan hutan bisa kekurangan gizi.

Hutan tropis adalah sumber gizi nabati dan hewani terbesar. Itulah kelebihan hutan tropis, berbagai spesies tumbuhan bisa tumbuh secara liar di sana. Demikian juga dengan hewan-hewan liar yang didapat dengan berburu atau menjerat. Hutan tropis juga erat hubungannya dengan adanya aliran sungai-sungai besar maupun kecil dimana hidup berbagai jenis ikan yang bisa didapat dengan cara memancing, menjala atau menombak/ memanah.

Kita masih kekurangan informasi tentang jenis gizi yang mana tidak didapat oleh warga Asmat sehingga mereka menderita kekurangan gizi atau gizi buruk. Namun, secara asumsi umum, hampir semua gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia bisa diperoleh di alam hutan tropis (tropical rain forest).




Mari kita tutup diskusi ini dengan memanggil kembali soal campak. Saya tidak tahu bagaimana pastinya secara Ilmu Kedokteran, tapi di masyarakat kami Suku Karo, campak disebut jaba-jaban dan dianggap semua orang harus pernah mengalaminya, terutama di masa anak-anak.

Saya pernah menderita penyakit ini ketika duduk di Kelas 1 SD. Saya lahir dan bersekolah di Padangbulan, Medan, tapi setiap Liburan Puasa (40 hari) saya dikirim oleh orangtua ke kampung ibu, Berastepu, yang sekarang telah musnah ditelan debu vulkanik Gunung Sinabung yang terus menerus erupsi sampai saat ini.

Saat di kampung itu, di sebuah Liburan Puasa, saya menderita penyakit campak. Nenek yang merupakan ibu dari ibu saya memberi saya makan hanya nasi putih dengan lauk telur ayam rebus dan kecap. Minuman di saat makan adalah soda water. Di siang hari, saya diajaknya ke ladangnya (reba). Dia ambil sebatang tebu merah dan memanggangnya sehingga hangat untuk saya makan (mengus) serasa teh manis hangat.

Seminggu kemudian, saya telah sembuh tanpa mendapatkan pengobatan apapun. Cara seperti itu dipraktekkan oleh kebanyakan orang-orang Karo di sekitar saya, baik di Medan maupun di desa-desa pedalaman Karo.

Membaca berita-berita tentang wabah campak dan kekurangan gizi di Suku Asmat beberapa hari ini, saya merasa ada nuansa politik yang berlebihan. Satu pihak berusaha menggunakan issue ini menyerang Pemerintahan Jokowi untuk “meniadakan” jejak pembangunan infrastruktur yang dilakukan selama ini di Papua, sedangkan pihak lain, terlalu memberitakan langkah-langkah dan tindakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah.

Politik seperti ini sangat tidak sehat. Langkah-langkah pembangunan dan pemberitaan-pemberitaan mengenai pembangunan terlalu diarahkan kepada serangan dari pihak oposisi dan perhitungan kemungkinan serangan yang akan dilancarkan oleh oposisi. Mata rantai situasi tidak sehat seperti ini harus mulai diputuskan oleh pihak penyerang dengan mengganti yang sifatnya menyerang menjadi sesuatu yang kritis membangun. Boleh juga melancarkan kritik menghancurkan, tapi betul-betul profesional dan dapat dipertanggungjawabkan bukan dengan sekedar nyeleneh dan nyinyir.

“Nampak kali pun tak mampunya si kawan,” kata orang-orang Karo dalam Bahasa Indonesia tapi dengan gramatika Bahasa Karo.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.