Kolom Juara R. Ginting: MANUVER CAKAR-CAKARAN

Mencuat berita-berita tentang saling cakaran di dalam diri kelompok yang menamakan diri #GantiPresiden. Menurut saya, para pendukung #Jokowi2Periode tidak perlu terkecoh dengan berita yang besar kemungkinan sengaja dicuatkan keluar ini.

Sangat bisa jadi, memang benar mereka sedang cakar-cakaran dalam menentukan siapa Capres-Cawapres yang dimajukan sebagai penantang Jokowi di Pilpres 2019.




Akan tetapi, mereka sudah punya formula meyakinkan bagaimana menyatukan kembali serpihan-serpihan apalagi hanya retakan di dalam barisan mereka. Justru perpecahan itu yang akan menjadi kekuatan sehingga ada indikasi mereka memang sengaja membuat perpecahan di tubuh mereka. Sebelum saya menunjukkan indikasi kesengajaan menciptakan perpecahan ini dan bagaimana nantinya mereka menyatukannya kembali di menit-menit terakhir, perkenankan saya mengetengahkan beberapa keuntungan yang mereka peroleh dengan adanya perpecahan itu.

Bila sejak sekarang mereka membuat kesepakatan bersatu mengalahkan Jokowi, maka mereka betul akan gontok-gontokkan dalam menentukan siapa Cawapres meski Capresnya hampir dapat dipastikan adalah Prabowo. Kerugian lain dari cara ini adalah bahwa mereka tidak akan siap mengganti Capres meski di dalam perkembangan selanjutnya sangat diramalkan bahwa Prabowo akan mengalami kekalahan.

Satu lagi, bila sudah sejak sekarang hanya Prabowo yang diketengahkan bakal menjadi Capres mereka, berarti semua biaya pergerakan akan ditimpakan ke Prabowo. Ini artinya menutup aliran dana menyokong gerakan. Soalnya, bila ini yang menjadi pilihan, Prabowo harus menunjukkan bahwa dia mampu menanggung pendanaan terkait semua upaya menggoalkannya menjadi Presiden RI. Kalau harus menunjukkan dirinya masih mengharapkan sumbangan dana kecil-kecilan berarti menampakkan dirinya tidak mampu atau ketiadaan pendana besar di belakangnya. Ini akan menurunkan semangat bergerak di bawah.

Lain halnya bila terjadi perpecahan sekarang. Banyak pasangan alternatif bisa dimunculkan untuk bisa diganti-ganti atau dirokerkan (dari kata roker dalam permainan catur). Bahkan Capresnya pun masih bisa diganti tergantung perkembangan terakhir. Semangat bergerak di bawah masih akan menggebu-gebu untuk mensukseskan bakal calon mereka untuk bisa, pertama, menjadi Capres atau Cawapre resmi dan kemudian memenangkan pertarungan sehingga menjadi Presiden RI atau Wakil Presiden RI.

Perpecahan juga adalah sesuatu yang tidak terelakkan dan memang mereka harus siap menghadapinya mengingat Pilpres waktunya besamaan dengan Pemilu Legislatif. Meski partai-partai tertentu sudah berjanji akan berkoalisi di Pilpres, tak bisa dielakkan semua partai akan berkompetisi satu sama lain tanpa kecuali untuk merebut jumlah kursi terbanyak di tingkat nasional maupun provinsi dan kabupaten/ kota.

Ada tidaknya bakal Capres/ Cawapres yang ditawarkan oleh sebuah partai akan sangat menentukan gengsi dari partai itu. Selanjutnya, sebagaimana kecenderungan masyarakat Asia yang sebagian besar gairah hidupnya diarahkan oleh gengsi/ martabat (bahkan pertanyaan beragama atau tidak serta agama yang mana dan tingkat ketaatan terhadap agama sangat didorong oleh kebutuhan terhadap gengsi/ martabat), gengsi ini akan sangat menentukan tingkat perolehan kursi suatu partai di gedung dewan.

Indikasi perpecahan sengaja itu dapat kita telusuri kembali ke perjalanan Prabowo dan Amien Rais ke Saudi Arabia saat mengunjungi Rizieq di sana. Apa isi pembicaraan mereka tidaklah penting karena mereka hanya ingin mengukir kesan adanya sebuah rencana yang mempersatukan lawan-lawan Jokowi.

Tapi, baru beberapa hari saja sepulang mereka dari Saudi Arabia, Amien Rais mendeklarasikan dirinya akan maju sebagai Capres. Ada tidaknya partai yang mendukung pencapresannya tidaklah penting mengingat masyarakat Indonesia umumnya suka isapan jempol atau pepesan kosong. Kelas menengah sangat menyadari tindakan Amien Rais sebagai sebuah isapan jempol tapi sebagian besar menyukai isapan jempol itu, walaupun tahu itu adalah isapan jempol, karena mereka mengetahui efek isapan jempol di masyarakat Indonesia.




Pernyataan bahwa Amien Rais telah mendeklarasikan dirinya akan Nyapres jauh lebih penting daripada pertanyaan apakah itu dapat direalisaikan atau tidak.

Kita tidak mendengar berita-berita adanya kekhawatiran bahwa Amies Rais sudah “pecah kongsi” dengan Prabowo meski dia mendeklarasikan diri akan nyapres. Ini menunjukkan bahwa di pihak sana tindakan Rais sangat wajar karena memang itu yang mereka butuhkan, setidaknya oleh partai yang didirikan oleh Amien Rais.

Kaum Kecebong memang sering dibuat terkejut badan oleh ulah para pemimpin Kampret yang mereka nilai bodoh dan mengundang tawa. Itu karena kaum Kecebong kurang memahami peta kebodohan di pihak sana yang justru menjadi kekuatan mereka memenangkan pertarungan. Pemimpin mereka sangat memahami itu dan kelakuan “lucu-lucu” dari Amien justru mereka anggap sebagai tantangan atau pelecehan terhadap Kaum Kecebong.

Tak lama kemudian pula Anies Baswedan dideklarasikan sebagai bakal Capres. Lagi-lagi, kaum kecebong dibuat tertawa geli mengingat pendeklarasian itu tanpa indikasi dukungan partai. Lalu, dikatakan pula baru-baru ini Anies akan menjadi Cawapresnya Prabowo. Padahal, Prabowo sudah mulai terlihat berbisik-bisik dengan AHY.




Apakah SBY serius menyodorkan putranya AHY menjadi Cawapres? Tentu saja dia serius sambil menawarkan kekuatannya mendukung sang Capres memenangkan pertarungan. Tapi, saya kira dia tidak sangat berharap AHY akan bisa memenangkan Capres yang manapun juga. Sasaran utamanya adalah mengisi tangki harapan partainya untuk bisa melakukan pergerakan di dalam merebut jumlah kursi di DPR untuk semua tingkatan.

Tanpa figur yang dianggap pantas menjadi Capres atau setidaknya Cawapres maka sebuah partai akan kehilangan semangat bergerak di bawah atau bahkan kehilangan akar rumput sama sekali. Ini terutama sekali berlaku untuk Partai Demokrat yang pernah menjadi besar karena mengandalkan figur SBY sebagai Presiden RI saat itu tapi tetap tidak pernah berhasil membangun akar rumput.

Singkat cerita, semuanya memainkan manuvernya menunggu perkembangan hingga di menit-menit terakhir. Termasuk perjalanan Anies, Sandi, dan Gatot ke Amerika adalah bagian dari manuver itu.

Adalah naif menganggap Gatot tertangkap kamera sedang berada di Trump Centre tanpa mengingat Gatot adalah jenderal mantan Panglima TNI yang tempat gudangnya keahlian inteligen dan spionase. Saya kira, hasil survey menjelang Pilkada Sumut jugalah yang mendorong Gatot datang ke Medan untuk berkampanye. Dari hasil survei mereka-mereka di Jakarta sudah memperhitungkan hasilnya Pilkada Sumut beberapa hari menjelang Hari-H. Kehadiran Gatot berkampanye di Medan hanya memperbesar kemenangan Paslon Eramas, tapi sama sekali tidak mengubah kekalahan menjadi sebuah kemenangan yang sudah tercium baunya melalui hasil survey-survey rahasia maupun terbuka.

Di menit-menit terakhir sebelum batas akhir pendaftaran Capres/ Cawapres, hasil survey akan sangat menentukan. Mereka yakin, siapapun Capres/ Cawapres yang mereka tawarkan akan didukung oleh semua partai, Ormas, maupun golongan #GantiPresiden meski sementara waktu terjadi perpecahan sengaja maupun tidak sengaja. Persatuan mereka adalah kebencian terhadap Jokowi.

Ingat, hasil survey juga yang mengubah dukungan sebagian masyarakat DKI dari AHY ke Anies Baswedan di Pilkada DKI lalu yang terjadi dengan cepat sehari sebelum Hari H pemilihan. Inti dari kemenangan Anies terhadap Ahok bukanlah karena banyaknya orang yang menginginkan Anies menjadi Gubernur akan tetapi adalah karena, terutama di Ronde ke 2, semua pendukung AHY telah bermusuhan dengan pendukunga Ahok.

Di sinilah kunci permainan akhir itu. Pendukunga Anies dan pendukung AHY tidak pernah saling serang. Pendukung keduanya terus menerus menyerang Ahok dan pendukunganya sehingga yang terjadi di lapangan adalah 1 (Ahok) lawan 2 (Anies dan AHY). Di Ronde 1, ahok masih bisa mengungguli keduanya sehingga berhasil menjadi pemenang, tapi di Ronde ke 2, Ahok tak berkutik karena pendukung kedua orang ini menyatukan diri.

Kondisi di ataslah yang ingin mereka ulangi di Pilpres 2019 nanti. Memang, melihat komposisi arah dukungan partai-partai politik saat ini serta batas minimum jumlah kursi di DPR RI untuk mengajukan Capres-Cawapres, kemungkinan besar hanya 2 Paslon yang akan maju. Akan tetapi, perpecahan yang mereka dengungkan saat ini akan lebih efektip untuk menampung pendukung yang bila disatukan di menit-menit terakhir. Gesekan antara sesama pembenci Jokowi bisa diminimalisir sambil memaksimalkan kemarahan terhadap Jokowi maupun pendukungnya.

Meskipun pendukung AHY dan Anies banyak yang tidak sejalan atau bahkan saling tidak suka, kemarahan terhadap Ahok yang dibangun selama menjelang Pilkada oleh Timses mereka dan merasa tidak punya kepentingan untuk bermarah-marahan antara pendukung Anied dan AHY, menjadi kunci kekalahan Ahok terhadap Anies.




Hati-hati dengan angin kebencian ini. Pilkada DKI telah melahap Ahok sebagai tumbalnya, dan sekarang mereka sedang cari figur yang tepat yang analog dengan Ahok. Siapa figur tukang marah di barisan Jokowi dan kuat pula agamanya yang bukan Islam? Calon cantik untuk diahokkan oleh mereka.

Namun, barisan Jokowi tentu saja tidak tinggal diam. Telah terjadi penyelusupan undercover dari pihak Jokowi ke pihak lawan-lawannya. Oleh karena itu, kejutan demi kejutan akan terus mengalir hingga Pilpres 2019. Beberapa tokoh yang kelihatannya seperti lawan Jokowi, tapi sebenarnya adalah kiriman Jokowi ke kamp pertahanan lawan. Satu per satu orang-orang dari pihak lawannya akan terciduk atau menyatakan diri mendukung Jokowi sehingga aliran dana untuk mengorganisir gerakan rame-rame ke Monas akan lumpuh dan menjadi senyap.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.