Kolom M.U. Ginting: Agama dan Politik

Dalam kunjungannya ke Barus (Sumut), Presiden Jokowi mengingatkan lagi adanya gesekan-gesekan kecil bila ada Pilkada. Sepertinya memang tidak terhindarkan atau lumrah saja. Soalnya ialah, bagaimana menangani kontradiksi itu, sehingga tiak merugikan masyarakat tetapi justru bermanfaat bagi perubahan dan perkembangan bangsa/ daerah pemilihan termaksud.

“Memang gesekan-gesekan kecil kita ini karena Pilkada. Benar, nggak? Karena Pilgub, Pemilihan Bupati, Pemilihan Walikota. Inilah yang harus kita hindarkan,” kata Presiden saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), sebagaimana dilansir oleh Antara [Jumat 24/3].

Kepala Negara meminta tidak mencampur-adukkan antara politik dan agama yang saat ini berujung pada konflik di masyarakat.

“Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” katanya (merdeka com).



Betul sekali memang nasihat presiden. Syarat penting untuk hindari gesekan supaya tidak jadi konflik yang merugikan, haruslah selalu jelas bagi semuanya apa beda agama dengan politik. Harus ‘dipisah betul’. Sedangkan Ketua MUI Ma’ruf Amin beranggapan bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Dua pendapat seakan-akan berkebalikan. Tetapi bahwa sama-sama bermaksud baik bagi bangsa ini, patutlah kita meyakini. 

Presiden Jokowi bilang harus ‘dipisah betul’ untuk menghindari gesekan yang tidak diinginkan atau konflik, apalagi kalau agamanya tidak sama, jelas akan bisa menuai perbedaan yang tidak bisa disejajarkan. Tiap agama punya perintah dan peraturan yang berlainan. Tiap pengikutnya harus pula atau berkewajiban untuk menjalankan, tetapi tidak harus diikuti oleh penganut agama lain.

Presiden Joowi meresmikan tugu Titik Nol Sejarah Islam di Barus (Sumatera Utara).

Belum lagi kita ngomong soal penafsiran yang bermacam-macam dalam agama yang sama, seperti terjadi di Pilgub Jakarta. Penafsiran terhadap surat Almaidah ayat  51, misalnya, yang menurut Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Ahmad Ishomuddin beda dengan yang lain. Dia kemudian dipecat oleh MUI karena perbedaan itu. Jadi, kalau agama dicampuraduk dengan politik, tidak terhindarkan akan bisa mengikutsertakan polemik agama, seperti di Pilgub Jakarta itu. Sudah jelas. Sedangkan polemik soal agama tidaklah seharusnya ikut jadi agenda pemilihan gubernur yang pada dasarnya adalah politik.

Di samping itu, bisa dilihat lebih dekat lagi bahwa agama adalah kepercayaan, punya Penguasa Tertinggi Super Natural dan Abadi, punya aturan dan perintah yang harus selalu dituruti oleh penganutnya, kapan saja dan di mana saja. Ini tentu tidak berlaku bagi penganut agama lain, yang juga punya Penguasa Tertinggi Super Natural, tetapi punya perintah dan aturan yang tidak sama dengan agama lain itu. Karena itu, paling tepat ialah kalau politik ‘netral’ secara agama, tidak pakai perintah agama, tetapi pakai aturan politik yang berlaku saja, peraturan KPU, UU dan hukum yang sedang berlaku.

Di Barat persoalan ini kelihatannya sudah selesai. Di sini, agama dianggap adalah persoalan peribadi, dan tidak ada orang yang ingin mencampuri pribadi orang lain. Belakangan memang ada benturan agama, tetap dikarenakan migran (Islam) yang sudah berlebihan




jumlahnya di beberapa negeri Barat (Eropah dan AS). Situasi ini pulalah yang telah menjadi faktor utama mendorong lahirnya kontradiksi baru dunia, antara nasionalisme/ patriotisme kontra internasionalisme globalis neolib.

Migran yang berlebihan jumlahnya itu mengakibatkan pepatah leluhur bangsa Indonesia diremehkan yaitu ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’, atau seperti Prof Kevin MacDonald bilang bahwa pendatang tidak boleh ‘remake society in their own image’, dpl harus menjunjung langit dimana kaki berpijak. 

Perjuangan antara calon presiden Trump dan Clinton tahun lalu menggambarkan persoalan pokok ini. Berakhir dengan kemenangan kaum nasionalis itu, juga Brexit. Pertumbuhan pesat partai-partai nasionalis Eropah adalah juga gambaran kontraiksi pokok ini, kontradiksi antara kepentingan nasional dan patriotisme kontra kepentingan internasional neolib.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.