Kolom M.U. Ginting: Dari Film Tentang Thukul ke Dinamika Perkara Ahok

 

Sekiranya film kisah kehidupan aktivis Wiji Thukul diperlihatkan ketika Soeharto berkuasa, pastilah akan dapat kecaman atau sensor atau bahkan larangan. Tetapi sekarang tidak begitu lagi. Kebebasan berpendapat dan mengutarakan pendapat sudah lebih terjamin dibandingkan era Soeharto, era kediktatoran kekuasaan.

Ketika Ahok mengutarakan pendapatnya di Pulau Pramuka, soal memilih dirinya sebagai Gubernur DKI, Ahok jadi tersangka penista agama. Kebebasan berpendapat tadi jadi soal, artinya masih tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada (tentu tergantung juga nanti bagaimana keputusan pengadian Ahok).

Kalau Ahok dibebaskan berarti ketentuan atau pasal kebebasan berpendapat itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan expresi Ahok di Kepulauan Seribu. Kalau Ahok bersalah dalam putusan pengadilan, berarti ketentuan kebebasan berbicara dan berpendapat masih dikekang oleh peraturan yang ada dalam UU atau hukum positif RI.

Kontraversi yang saling berhadapan dalam mengexpresi pendapat atau dua hal bertentangan yang selalu masih berhadapan dalam hal apa saja, tidak bisa dihindarkan. Begitu dulu dan begitu tetap sekarang dan seterusnya. Bedanya ialah kalau di era Soeharto, tidak ada diskusi lagi, pengadilan dan pemerintah satu suara dan langsung ditindak tanpa ada debat/ diskusi yang bisa mengembangkan pikiran bagi semua pihak. Kontravesi yang diselesaikan dengan cara paksaan, hanya menguntungkan sepihak, dan kebenaran sepihak tidak menambah pengetahuan baru.

Berlainan halnya di era Jokowi, era demokrasi atau perkembangan demokrasi, soal ‘kesalahan’ Ahok dalam mengekspresikan pendapatnya telah memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang berkontradiksi (bahkan mengikutkan publik) untuk mengutarakan argumentasinya masing-masing. Inilah yang mencerahkan rakyat dan publik yang aktif mengikuti proses pengadilan Ahok.

Tidaklah begitu urgen sekali apakah Ahok akan dihukum atau tidak, tetapi kepositifannya dalam soal pencerahan dan pendalaman pengetahuan dari semua argumentasi itu, itulah yang sangat besar manfaatnya.

Selain itu, kalau Ahok dihentikan dari jabatan gubernur yang selama ini dia tangani dengan tekun tanpa korupsi dan malah mengeluarkan semua yang korupsi, ini pasti merugian penduduk Jakarta. Tidak gampang menemukan pemimpin bersih dan kerja tekun seperti Ahok.

Terlihat jelas dari pengalaman mengikuti perkara Ahok, bahwa kontraversi atau kontradiksi yang terbawa dalam perkaranya sangat berdampak positif bagi perubahan dan perkembangan pengetahuan rakyat banyak, khususnya penduduk Jakarta. Kebenaran atau kesalahan yang dilakukan oleh Ahok menjadi viral, dan itulah PENCERAHAN. Diskusi yang semakin mendalam dan meluas soal kebenaran dan kesalahan, dengan argumentasi yang semakin mendalam dan juga semakin ilmiah dan mengikutkan banyak orang pula (publik) . . . . apakah ada yang lebih baik dari situ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.