Kolom M.U. Ginting: Dzulmi Eldin dan HMKI

M.U. Ginting 2hmki medan 9Sikap dan pernyataan yang dibikin Dzulmi Eldin dalam menghadap HMKI sebagai perwakilan resmi kultur/ Suku Karo adalah sikap nyata ‘saling menghomati dan saling menghargai sesama suku. Bagi Dzulmi Eldin, ungkapan ‘saling menghormati dan saling menghargai sesama suku’ bukan hanya basa-basi atau jargon politik, tetapi bikin dalam kenyataan konkret.

Perkembangannya sudah sejauh itu. Dari basa-basi dan jargon saja pada mulanya. Sekarang, ke kenyataan konkret dan sungguhan dan, paling penting ialah, sudah dimengerti arti sesungguhnya tuntutan zaman itu.

Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan kemanusiaan dunia yang dalam kenyataan terdiri dari jutaan suku/ kultur. Di Indonesia yang juga terdiri dari ratusan kultur/ suku harus menempuh jalan itu. Itu sudah ditunjukkan oleh HMKI dan wali kota Dzulmi Eldin.

Karena suku/ kultur berbeda-beda maka juga dalam kenyataan ada ‘ethnic competion’ yang pada abad lalu telah bikin perang entis yang makan korban jutaan, dan juga masih ada terjadi sekarang. Perang etnis ini sangat keji dan tak berperikemanusiaan, juga terjadi di Indonesia, bikin penderitaan dan bikin korban jiwa tak sedikit.

Kalau ekonomi berfungsi sebagai dasar perubahan kesedaran manusia maka perang mempercepat perubahan itu. Ini sudah terbukti dari pelajaran dan kesimpulan perang etnis abad 20. Berapa banyak kesimpulan dan pembelajaran yang telah dibukukan oleh ahli-ahli dunia, dan berapa banyak kesimpulan praktis dan benar yang sudah ditrapkan dalam kenyataan seperti di atas (HMKI dan Walikota Medan).

Ethnic competition masih akan berlangsung dalam jangka panjang ke depan, ratusan atau ribuan tahun lagi. Bukti ada, selama 3.000 tahun peradaban manusia, abad lalu pernyataan kompetisi itu dinyatakan dalam perang etnis yang tak berperikemanusiaan dan makan korban banyak. Tetapi jelas terlihat dalam kenyataan ada perubahan fundamental kesedaran dan pengertian manusia yang berbeda suku dan kultur.

Harapan yang menentukan ialah adanya universalisme dalam setiap kultur, walaupun tingkat keuniversalannya berbeda dalam tiap kultur. Hilangnya perbedaan keuniversalan ini adalah permulaan hilangnya ’ethnic competion’, kontradiksi berubah kwalitasnya.

Universalisme kultur dan budaya Karo adalah salah satu yang menonjol dalam kehidupan Karo, terlihat dalam watak kejujuran dan keikhlasannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, dan juga secara tradisional yang sudah melekat dalam jiwa tiap orang Karo sejak ribuan tahun. Ini didasari oleh filsafat hidupnya yang menggambarkan ciri kemanusiaan yang sangat mendalam; yaitu ‘sikuningen radu megersing, siagengen radu mbiring‘ serta dialektika pikirannya yang sangat tinggi ‘seh sura-sura tangkel sinanggel‘.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.