Kolom M.U. Ginting: Immunitas vs Independensi dalam Kasus Setnov

“Ya ini, KPK kan lembaga independen, tidak ada bisa intervensi. Presiden pun tentu tidak bisa intervensi,” kata wapres JK.

 

Sekiranya KPK bisa dicampuri oleh badan-badan lain, tentu KPK jadi tidak ada artinya atau mandul. Ini terutama sekali bila badan yang mencampuri itu adalah badan yang nomor 1 atau nomor 2 dalam soal korupsi seperti DPR dan polisi sebagai badan-badan yang paling korup di negeri ini. Anggota DPR yang mau mencampuri tindakan KPK lebih baik kasih argumentasi yang bisa mencerahkan dan meningkatkan pengetahuan rakyat soal ‘imunitas’ DPR dan soal badan independen KPK.

Imunitas dan Independensi berperang di sini. Siapa yang memihak mana. Koruptor-koruptor DPR tentu memihak imunitasnya. Publik yang antikorupsi tentu akan pilih independensi KPK, membela KPK.




Diskusi atau debat ini bisa berjalan seperti proses korupsi Hambalang, banyak korban berjatuhan, termasuk gedungnya jadi gedung hantu nasional. Yang rugi tentu rakyat. Tetapi tidak ada pilihan lain bagi rakyat, proses kontradiksi hal-hal yang bertentangan tidak perlu dihentikan, karena pasti akan menghasilkan yang positif. Proses kontradiksi ini selalu menuju puncaknya, antara tesis dan antitesis, kemudian ke sintesis (kontradiksi baru). Kontradiksi lama lenyap aotomatis. Yang curang dapat ganjaran masuk penjara, dan tak ada lagi perlawanan (kontradiksi hilang) dalam proses tesis-antites-syntes (Hegel).

Yang curang jadi korban kecurangannya, dan dari segi lain, rakyat banyak ikut meningkatkan pengetahuannya tentang kontradiksi dan tambah kualitas, atau ‘pembengkakan kualitas warga’ pakai istilah imam masjid Istiqlal Nasaruddin Umar dalam menanggapi penambahan kualitas pengetahuan massa rakyat dalam mengikuti perkara Ahok.

Puncak kontradiksi Ahok terlihat dalam kemunculan gerakan 212 dan 313, dan setelah itu kontradiksi kemudian menurun dengan tertangkapnya penggiat dua gerakan itu (nama-nama di bawah). Syntesis kontradiksi ini sepertinya sudah diambil alih oleh kontradiksi Ahok/ Jarot kontra Anies/ Sandiaga. Kontradiksi ini hilang setelah 19/4.

Memang korban-korban yang jatuh dalam perkara Ahok tidak separah yang dialami oleh korban Hambalang. Dalam perkara Ahok baru dalam tingkat tersangka usaha makar dalam gerakan 212, maupun 313. Tetapi sudah cukup mantap untuk menyetop orang-orangnya untuk selama-lamanya atau untuk sementara, seperti Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani (gerakan 212), Al-Khaththath alias Gatot Saptono (gerakan 313).

Sekarang, muncul kontradiksi baru yang lain, antara DPR dan KPK, di dalamnya bisa dimasukkan air keras Baswedan. Kontradiksi ini juga bisa disejajarkan dengan kontradiksi antara imunitas DPR (korupsi) kontra independensi KPK (anti-korupsi).




Kalau ada anggota DPR korupsi dan imunitas dipakai supaya tidak disinggung korupsinya, wow . . . terlalu enaklah. Kasihan rakyat yang duitnya dicolong begitu saja dan pencolengnya dilindungi pakai imunitas sehingga bebas dari hukuman sebagai pencoleng.

Ha ha …. gak bisalah gitu, Pak DPR. Bayangkan kalau gak ada badan independen KPK di Indonesia, jadi imunlah semua koruptor DPR itu. Untung ada KPK badan yang tidak perlu takut sama imunitas DPR badan terkorup Indonesia itu.

Model Header: Sri Ngena beru Gurusinga.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.