Kolom M.U. Ginting: Lagi-lagi Pasal Penghinaan Presiden

M.U. Ginting 2presiden 3Penjelasan Demokrat Salim S. Mengga di merdeka.com bermanfaat sebagai pelengkap diskusi publik soal ‘pasal-pasal penghinaan’ presiden/wakil. Publik mengetahui lebih banyak lagi. Informasi dan pengetahuan adalah modal utama sekarang dalam mencari kebenaran dan untuk melihat mana yang adil dan yang tak adil. Salim meminta supaya pihak Jokowi berani mengambil tanggungjawab sendiri menjelaskan ke publik draft mereka sendiri, jangan setelah ditolak DPR lantas bilang kalau ini punya SBY.

Betul. Memang tak eloklah gitu kang.

“Jadi secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerintahan lalu,” jelas Teten Masduki dari pihak Jokowi.

Demokrat Salim bilang bahwa “pasal penghinaan tersebut sebenarnya sudah ada di era Orde Baru Soeharto.”

Jadi 3 pemerintahan, Soeharto, SBY,  dan Jokowi dalam hal ini punya pemikiran yang sama. Revolusi Mental Jokowi dikaburkan sendiri. Untungnya, rakyat jalankan terus revolusi itu, termasuk dalam soal ‘penghinaan presiden’ ini. Perubahan dunia jalan terus.

Kalau pihak Jokowi memang bermaksud baik dengan pasal itu, ‘melindungi yang kritis’ terhadap presiden, maka harus bisa menjelaskan dimana baiknya. Paparkan kepada publik dengan argumentasi yang bisa meyakinkan. Memang ada keinginan dari Jokowi sendiri ‘melindungi’ yang kritis supaya pihak penguasa tidak pakai ‘undang-undang karet’ menjebak orang yang kritis.

UU karet yang dipakai seperti mengkriminalkan orang-orang KPK dan KY oleh Sarpin dan Bareskrim. Ini UU karet yang harus dihapus. Tetapi ini tak usah dicampur aduk dengan UU melindungi presiden/wakil presiden.

UU ‘penghinaan presiden’ itu sudah ditolak oleh DPR dan ditolak rakyat banyak. Argumentsi pihak Jokowi tidak mampu meyakinkan karena satu hal yang pasti ialah mengangkat kembali era feodal, era Soeharto, era Hitler, era Stalin, era Polpot. Semua orang ini main bunuh saja tanpa argumentasi ilmiah kepada publik.

Soeharto memaksakan UU itu dan sembelih siapa saja yang menentang. SBY usulkan lagi tetapi tak berani bikin debat di publik. MK hapus UU itu 2006. Jokowi bikin lagi sekarang lantas ditolak oleh DPR dan rakyat banyak.

“Mau hina mau kritik boleh karena Presiden itu jabatan politik. Resiko jabatan publik memang seperti itu, masa kalau nggak boleh hina Presiden lantas mau gimana? Ganti Presidennya? Ya, siapapun yang ganti pasti dapat hinaan karena ini jabatan publik,” kata Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada merdeka.com [Selasa 4/8].

presiden 5Sebagai pejabat apalagi presiden/ wakil presiden, tentu terasa aneh bagi publik jaman sekarang kalau masih takut kepada kritik, takut dihina, takut dikatai ini itu, dsb. lantas bikin UU untuk menghantam pengeritik itu. Pejabat atau presiden harus tahanlah dengan segala macam kritik atau makian, selama yang dikritik dan dimaki adalah kerjaannya bukan pribadinya, bukan ad hominem kata kita dalam diskusi atau debat. Sungguh luar biasa atau tak mungkinlah kalau tak ada kritik, makian, dsb kepada seorang pejabat politik apalagi presiden. Jaman lalu ada memang, Era feodal, era Orba Soeharto, Stalin, Polpot dsb, semua sudah berlalu lama, dan ketika itu jelas ini tak aneh memang.

Ketua DPR Setya Novanto bilang kalau presiden adalah simbol negara. Diskusi dan debat jadi lebih hangat gara-gara simbol ini. Pendapat ini tentu lebih ngawur lagi. Presiden tak mungkin simbol negara, karena simbol adalah barang mati, bendera, Garuda Bhinneka Tunggal Ika, dsb. Simbol tak bisa dikritik, tak bisa bikin salah atau mengundurkan diri.

Jadi, kalau UU itu diusulkan lagi karena presiden adalah simbol negara jelas tak bisa diterima publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.