Kolom M.U. Ginting: Lagi Tentang Mobilisasi dan Partisipasi

M.U. Ginting 2demo 1Kalau dulu Abad 20 ada demo yang dimobilisasi, pakai duit atau tidak, kesedaran atau tidak, masyarakat tak begitu peduli. Menjadi bahan pembicaraan kalau ada yang mati ditembak atau dipukuli. Baru setelah itu semua tertarik.

Di era Soekarno ada berbagai demo. Agaknya ketika itu sebagian besar meyakini apa yang mereka demokan. Orang petani atau pekerja dengan idelogi Sosialis/ Komunis meyakini apa yang mereka tuntut dan sasarannya. Begitu juga demo orang Masyumi atau ’kanan’ ketika itu jelas sangat meyakini tuntutannya yang berkebalikan dengan demo Sosialis atau Komunis atau ’kiri’. Adanya kiri dan kanan ini dalam praktek ditandai juga dengan dua blok dunia ketika itu.

Di era Soeharto, demo itu didukung oleh kekuatan senjata di belakangnya. Apakah pendemo yakin atau tidak, soal ke dua saja, karena ketakutan terhadap senjata di belakangnya secara psikologis pada saat-saat tertentu bisa berpengaruh lebih besar dari pada keyakinan. Membantai orang-orang PKI atau yang dituduh PKI bisa dikatakan jauh dari keyakinan atau ideologi keyakinan untuk memperjuangkan sesuatu demi kemanusiaan.

Demo di era Reformasi setelah Soeharto dilengserkan, banyak berlandaskan keyakinan pada mulanya. Tetapi kemudian bermunculan demo bayaran, dan karena itu lantas muncul ide membedakan ’mobilisasi’ dan ’partisipasi’.

Yang ke dua ini seiring dengan Revolusi Mental Jokowi, untuk mengikutkan seluruh rakyat berpartisipasi tanpa mobilisasi. Berpartisipasi artinya dengan keyakinan ilmiah atau atas dasar  pengetahuan yang dipunyai bisa ikut berpartisipasi, dengan omongan, tulisan, atau ikut bertindak berbuat sesuatu. Atau, dengan perkataan lain, katakan apa yang harus dikatakan, tulis apa yang harus ditulis dan juga ikut bikin aksi dalam penerapan suatu ide atau gagasan yang ada hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sesuatu dalam masyarakat.

Partisipasi juga tak bisa lepas dari keterbukaan dengan alasan dan argumentasi ilmiah yang meyakinkan banyak orang. Contoh gagasan/ ide yang menonjol dan aktual sekarang ialah Rvolusi Mental Jokowi dan 3 formula Ahok dalam menjalankan pemerintahan yaitu pertama: pecat, ke dua: pecat dan ke tiga: pecat. Dalam ide atau gagasan kedua orang ini tak ada yang perlu dirahasiakan atau digelapkan. Semua terbuka dan transparan, dan itu mugkin karena era internet sekarang dan juga memungkinkan partisipasi jutaan orang seluruh pelosok Tanah Air dan juga dunia.

demo 3Contoh di masyarakat Karo ialah sikap dan tindakan konkrit HMKI (Himpunan Masyarakat Karo Indonesia) dalam melaksanakan Karo Festival 2015 di Medan, sebagai pencerahan dan emansipasi kultur Karo. Gagasan pencerahan KBB adalah contoh lainnya di masyarakat Karo sebagai contoh konkret emansipasi pikiran Karo dari keterikatan kolonial soal pembatakan suku-suku tertentu termasuk suku Karo yang sudah dibatakkan oleh kolonial Belanda sejak kedatangan Belanda ke Sumatra, dalam rangka mengadu domba dan menguasai penduduk pedalaman Sumatra. Belenggu pembatakan ini menghalangi kebebasan bergerak, kebebasan berpikir dan kebebasan mencipta. Orang Karo sudah mulai membebaskan dirinya dari belenggu lama ini. Hidup tanpa belenggu dan keterikatan kesukuan dari suku lain maupun dari kekuasaan kolonial adalah sangat indah bagi tiap suku negeri ini. Itulah kebebasan kultural dalam Bhineka Tunggal Ika.

Kembali ke demo bayaran tadi, demo era Reformasi. Siapa yang dibayar itu?

Tak usah pikir jauh. Jelas di demo menentang Ahok itu ialah mereka yang miskin butuh duit Rp. 10 ribu atau Rp. 50 ribu untuk makan. Ciri lainnya ialah mereka ini adalah yang berpendidikan sangat rendah atau tak punya pendidikan sama sekali. Gampang dimobilisasi’. Sekali lagi, di sini, mereka ini dimobilisasi bukan diajak berpartisipasi.

Siapa yang membayar dan memobilisasi mereka ini? Dalam contoh di atas ialah elit politik yang bertentangan dengan Ahok, yang berkepentingan menjatuhkan Ahok dan juga punya uang untuk memobilisasi. Pendemo umumnya tidak mengerti tujuan tersembunyi dari pembayar elit ini.

Adilkah sikap elit politik ini dalam menghadapi penduduk/ golongan orang miskin dan orang tak berpendidikan di Jakarta dengan memobilisasi mereka dengan kasih uang makan Rp. 10.000 sampai Rp. 50.000?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.