Kolom M. U. Ginting: PECAH BELAH

“Apapun hasilnya, siapa pun yang terpilih harus kita terima dengan lapang dada,”
Ini kata-kata presiden Jokowi di tempat TPS 4 ketika akan mencoblos pilihannya siapa yang bakal jadi gubernur Jakarta dalam putaran ke 2 itu.

“Harus diterima dengan lapang dada,” sifat kesatria dan sportif dalam pertandingan “kalah atau menang” dalam pertarungan olah raga atau apa saja. Sifat kesatria ini sangat perlu dalam menjaga kestabilan dari gangguan perpecahan yang tidak pernah berhenti sejak permulaan kampanye Pilgub Jakarta. Sumber atau dalang perpecahan ini menurut panglima TNI datang dari AS dan Australia.

Panglima mangatakan: “Setelah ditelusuri intelijen, ternyata yang nyebar adalah dari Australia dan dari Amerika. Ternyata bukan dari dalam. Tujuannya tidak lain untuk memecah belah,” (republika.co.id).

Ini sesuai juga dengan pernyataan Prof. Chossudovsky dimana terorisme dipakai sebagai alat memecah belah rakyat disatu negara datang dari AS. Dan Prof. Chossudovsky Ottawa University mengatakan. Terorisme sebagai alat pecah belah dan menjarah triliunan dolar dari SDA negeri tertentu, seperti ISIS untuk menjarah triliunan dolar dari SDA minyak Syria dan Irak dan teror perpecahan 1965 untuk menjarah triliunan dolar dari SDA emas Papua oleh neolib Freeport.




Usaha pecah belah paling terlihat di Jakarta ialah memanfaatkan perbedaan agama yang memuncak dalam kasus ayat 51 Al Maidah, yang penafsirannya juga jadi perdebatan, seperti penafsiran atau terjemahan dimana “bagi umat islam tidak boleh memilih pemimpin/teman yang Yahudi atau Nasrani”.

Penafsiran ayat 51 telah membagi ahli tafsir agama maupun publik jadi terbelah dan berseberangan, penafsiran mana belum selesai sampai sekarang dan dipastikan juga tidak akan pernah selesai.

Inilah yang memberikan harapan bagi pemecah belah dari luar (AS dan Australia) untuk tetap mengacau persatuan Bhinneka Tunggal Ika nation Indonesia, terutama sekali dari segi agama yang sangat rentan itu.

Usaha luar ini hebat memang, dan hampir berhasil juga. Kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana hebatnya pengaruh gerakan 212 dan 313 yang dilengkapi dengan pembiayaan yang tidak sedikit dan bahkan diikuti oleh sebagian elit politik, menjurus ke gerakan makar. Hebatnya lagi ialah bahwa berkat ketangkasan dan kesigapan aparat keamanan dan pemerintahan Jokowi/ JK. Gerakan ini bisa digagalkan dengan seksama.

Juga terlihat memang adanya semangat kesatuan dan kebersamaan mayoritas publik negeri ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika, mendukung sepenuhnya pemerintah demokratis Jokowi/ JK dalam usahanya menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan luar sehingga bisa mencegah kejadian yang lebih menyedihkan seperti teror pembunuhan 1965 yang berhasil 100% memecah belah dan menyingkirkan pemerintahan yang sah Soekarno. Kali ini mereka gagal menyingkirkan Jokowi/ JK.

Walaupun gerakan 212 dan 313 sudah gagal total, usaha luar masih terus tidak akan pernah berhenti seperti disambungnya lagi dengan gerakan “Tamasya Almaidah”. Ini mau dimunculkan bersamaan dengan hari pilgub 19/4. Rakyat Indonesia yakin sepenuhnya bahwa gerakan ini juga bisa digagalkan aparat keamanan pemerintah.

Persoalan perpecahan (penafsiran) ayat 51 Almaidah akhirnya terfokus dalam Pilgub Jakarta diwakili oleh 2 calon. Dasar pembagian/ perpecahan pilihan bukan lagi 100% politis tetapi dicampur agama yang erat kaitannya dengan ras, suku, kultur. Bahwa negeri kita memang negeri bhineka dalam soal ras, suku, kultur, dan daerah yang beragam dan berbeda, tidak bisa dihindarkan, dan tidak perlu juga dihindari, tetapi sebaliknya harus menerima apa adanya dan memanfaatkan positifnya yang tidak terhitung juga. Keragaman adalah sumber kekayaan alamiah dalam soal kreasi dan daya cipta untuk perubahan dan kemajuan bersama.

Foto header: model Sora Sirulo Grace Ch. M. Milala (paling kiri) bersama teman-temannya.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.