Kolom M.U. Ginting: PERUBAHAN KESADARAN YANG TERLALU CEPAT (Bagaimana Kekuatan Tabu?)

Perubahan dari Zaman Ketertutupan ke Zaman Keterbukaan makan waktu sangat panjang. Atau, itulah sepanjang zaman, zaman ketertutupan yang sudah berlaku sejak adanya kekuasaan, dan berakhirnya baru pada era KETERBUKAAN dalam era internet sekarang ini.

Betapa lama era ketertutupan berjalan, ribuan tahun . . .  dan betapa kuat dan hebatnya kekuasaan badan-badan tertutup atau badan-badan intel ini, sampai akhir abad lalu, akhir abad ketertutupan, seperti Illuminati, CIA, NSA, KGB dsb dsb.

Abad lalu bahkan menyebutkan nama-nama organisasi rahasia itu saja kita anggap tabu, apalagi buka cerita soal itu. Yang paling menarik lagi ialah dari soal kultur atau etnis. Tahun 50-60-an, orang Karo menyebut orang China sebagai ‘kita China, menamai orang Batak sebagai ‘kita Batak’ atau ‘kita Teba’, ‘kita Jawa’ dsb, untuk tidak menyebutkan langsung sukunya. Itulah tabunya, kekuatan tabu akibat ribuan tahun kekuasaan ketertutupan, ribuan tahun kekuatan ‘tabu’.

Bagaimana kekuatan tabu ini sekarang?




Orang Jawa ya orang Jawa, bukan lagi ‘kita Jawa’. Orang Batak ya orang Batak bukan lagi ‘kita Batak’. Apalagi Karo Bukan Batak (KBB), he he . . . kepopuleran KBB sebagai pencerahan kultural bukan main. Manusia lain pada berduyun datang ingin tahu, dan juga karena sifat kental leluhur bangsa Indonesia yang ingin menghormati dan menghargai Karo sebagai salah satu suku/ kultur dalam wadah nation Indonesia, terutama orang-orang yang selama ini belum mengenal Karo sebagai salah satu suku bhinneka tunggal ika itu.

Bahkan di Eropah Barat, Karo sudah dikenal banyak setelah karya dan kerja tak pernah lesu-lesunya dari Karo Eropah terutama atas inisiatif Juara R. Ginting dan teman-teman Karo Eropah lainnya. Kepopuleran ini juga bisa dikaitkan dengan gunung berapi Sinabung, terutama setelah beberapa tahun terakhir orang Karo ini diganggu nasibnya oleh ledakan terus menerus gunung berapi itu yang berlangsung sudah lebih dari 3 tahun, terasa seperti pengungsian abadi, nasib Karo di api Sinabung.  

“Jangan pernah memandang perbedaan suku dan agama, sebab setiap individu pasti memiliki perbedaan, maka dari itu tanamkanlah semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam hati kita semua,” kata Kepala Badan Kesbang Pol Kota Medan (Ceko Wakhda Ritonga SH) ketika secara resmi membuka Seminar Penguatan Pemahaman Bhineka Tunggal Ika di Hotel Madani [Selasa 26/9].

Pak Ceko menekankan perbedaan ‘individu’ dan ‘jangan memandang perbedaan suku’. Pak Ceko sudah melampaui kesedaran Huntington misalnya yang mengatakan abad ini sebagai abad ‘The Clash of Civilizations’, atau Moisi ‘The Clash of Emotions’. Keduanya menekankan pengaruh kultur yang masih belum bisa dikesampingkan atau tidak diikutkan dalam menilai persoalan penting dunia sekarang ini, yaitu soal etnis, kultur, dan soal nation.

Erik Lane dalam bukunya soal Globalisasi sangat lebih jelas menggambarkan: 

The focus is almost exclusively at ethnics and not nations . . . Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture.”

 

Atau juga ditekankan oleh seorang profesor dari Universitas Katolik AS bilang:

“Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape the world in the twenty-first century.” (Jerry Z. Muller is Professor of History at the Catholic University of America).

 

Walikota Medan Dzulmi Eldin dalam pidatonya pada perayaan Deepawali 28 Okt 2017 mengatakan: “Betapun kecilnya suatu etnis, mereka tetap mengharapkan pengakuan dan penghargaan sebagai entitas sosial dan sebagai warga bangsa.” Walikota Dzulmi Eldin masih menekankan entitas etnis/ kultur seperti halnya pemikiran ahli-ahli dunia itu, artinya belum ke tingkat penilaian individu seperti pemikiran pak Ceko di atas.




Seterusnya Pak Dzulmi Eldin bilang bahwa masyarakat majemuk kota Medan ‘sama-sama memiliki kesetaraan hukum maupun pemerintahan. Ini juga ada kejanggalannya atau ‘tabunya’ kalau kita lihat ‘etnis kecil’ Karo yang sama sekali tersingkir dari pemerintahan Sumut sejak reformasi. Ini karena memandang etnisnya atau individunya, Pak?

Dan harus dicatat juga bahwa etnis kecil Karo itu adalah penduduk asli kota Medan dan Sumatera Timur di Sumut, artinya bukan etnis pendatang.

Kalau kita sudah berhasil menghilangkan banyak tabu seperti sudah saya uraikan beberapa di atas, tetapi masih ada tabu yang masih terpelihara secara utuh yaitu ethnic competition. Ini adalah masalah crucial dan teramat penting dalam multi etnis Medan/ Sumut dan juga di banyak daerah lain Indonesia.

Mari bikin dialog, diskusi tansparan yang mengembangkan.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.