Kolom M.U. Ginting: Pilpres AS, Kanan Baru, dan KBB

nationalism-4

 

Pilpres AS (Pemilihan Presiden Amerika Serikat) kali ini sangat menarik. Bukan karena baru pertama kalinya ada perempuan yang jadi Capres (yang sebenarnya M.U. Gintingadalah hal luar biasa juga terjadi di negeri Paman Sam ini), tetapi melainkan adalah karena menggambarkan perubahan politik dunia secara luar biasa luar biasa. Pilpres ini ini menggugah multikulti dan terorisme, yang kesemuanya selama setengah abad telah terlindung di dalam tradisi politik kiri PC (Political Correctness). Pilpress kali ini juga telah menciptakan legenda politik ‘silent majority’ di AS dan Eropah Barat.  

Capres Hilary Clinton mewarisi tradisi kiri itu. Tak bisa diharapkan muncul sesuatu yang baru dari Hilary Clinton, karena orang-orang kiri ini hanya meneruskan warisan lama. Politik kiri lama ini sedang dalam perjalanan menurun di lereng terjal. Yang baru atau pembaruan diwakili oleh orang-orang ‘kanan baru’ seperti Capres Trump. Di Eropah diwakili oleh kanan baru seperti Brexit Nigel Farage, Boris Johnston dan semua partai-partai nasional baru Eropah dan dunia. Partai-partai ini disebut juga ‘kanan baru’.

Di Indonesia kita bisa saksikan juga bagaimana aliran ‘kanan baru’ ini (politik patriotis nasionalis) pada bermunculan dalam berbagai partai selain partai nasionalis aslinya yang pernah dibangun oleh Soekarno. Terlihat misalnya dalam nationalism-6 perkembangan sikap Partai Nasdem, Hanura dan beberapa yang lain juga sedang berkembang ke arah yang sama.

Secara orang per orang, gaya baru ini juga ada pada Jokowi, Ahok, Duterte, Nigel Farage, Boris Johnson, dll. Tipe perorangan seperti ini dicap buruk oleh semua yang menentang pembaruan terutama diwakili oleh orang kiri lama. Cap buruk ini sering bukan dari segi politiknya tetapi malah lebih sering dari segi ‘sopan santun’ nya.

Terlihat juga dari perdebatan Selasa 4 Oktober Malam kemarin, antara Wapres (R) Mike Pence kontra Wapres D Tim Kaine. Yang ditonjolkan (D) Tim Kaine sering ‘kekasaran’ Trump dalam kampanye sehingga katanya ‘sangat mengerikan’ kalau Trump jadi ‘komando tertinggi angkatan perang’. Trump sering mengatakan ketidakcocokannya dengan peran Nato, dimana dia sering menandaskan ‘Amerikanism lebih penting dari internasionalism’.

“Semua negara lain yang memnfaatkan Nato patut bayar upeti kepada AS karena menggunakan fasilitas militer AS,” katanya.

Tuntutan yang patut juga bagi pembayar pajak di AS yang membiayai persenjataan Nato.

“Americanism, not globalism, will be our credo,” telah menjadi semboyan Pilpres Trump.

nationalism-2Credo ini sangat mendalam artinya bagi sebagian besar rakyat AS yang selama ini terkenal dengan ‘silent majority’ itu. Kalau dia mengutamakan Amerika daripada globalisasi, tentu tak perlu ‘ngeri’ kalau dia akan mengerahkan pasukannya ke daerah global. Jelas kalau yang bercita-cita bikin ‘global hegemony’ (Chossudovsky) itu bukan ideologi Trump. Trump sebaliknya punya ideologi nasionalisme, sama halnya dengan gerakan nasionalisme Eropah dan bagian dunia lainnya, seperti di Indonesia juga.

“The open borders movement is profoundly immoral,” kata Prof. Frank Salter dari Australia.

Trump ingin bikin tembok sepanjang batas dengan Mexiko untuk membendung kriminal dan narkoba dari luar.

“Pembangunan tembok ini harus dibayar oleh Mexiko,” katanya blak-blakkan seperti gaya Ahok.

Memang ada 11 juta migran di AS tanpa dokumen yang katanya dokumennya lupa di rumah ha ha ha. Ini sering jadi bahan tertawaan memang, tetapi begitulah politik internasionalisme multikulturalisme yang sudah berlaku di AS selama setengah abad. Sudah menjadi bagian dari political correctness (PC) yang sekarang ditentang keras oleh Trump dan simpatisannya ‘the silent majority’, orang-orang nasionalis AS yang selama setengah abad dikibuli oleh internasionalisme, multikulturalisme dan globalisme dan setiap saat diancam dengan PC (Political Correctness).

“Open borders” atau dimulai dari daerah ‘dari pinggiran’ kalau pakai istilah Presiden Jokowi, 2 arah politik besar Abad 21. Yang sangat menarik ialah, bahwa 2 politik bertentangan ini sedang semarak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia seperti kita suah lihat sendiri.

nationalism-5Nasionalisme, ethnonasionalisme atau kesukuan atau sebagai dasar perjuangan keadilan ke dalam dan keluar, tercurah juga dalam gerakan ethnic-revival atau cultural-revival seluruh dunia yang bikin perang etnis dan  yang telah mengorbankan jutaan jiwa manusia. Tetapi, bagusnya sekarang ialah bahwa gerakan ini meluas tanpa perang, tanpa sengketa berdarah, karena sudah menjadi agenda perpolitikan di atas meja bagi semua yang berkepentingan. Alam perubahan dunia dalam transparansi dan keterlibatan publik dalam segala soal sepertinya telah berhasil menghilangkan sisi berdarah dari pertentangan ini.

Semua sudah bisa memahami bahwa:  

“The focus is almost exclusively at ethnics and not nations . . .  Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture.”

Itu kata Erik Lane dalam bukunya soal Globalisasi.  

Dalam tuduhan yang menyebar belakangan atas politik Amerikanism Trump dan Brexit Boris Johnston dibilang sebagai the wave of inward-facing rightwing populism. Artinya, tidak lagi mengindahkan teman luar atau negara lain.




Boris Johnston menjawab bahwa:

 “Brexit means us being more outward looking, more engaged, more energetic, more enthusiastic on the world stage than ever before.”

Mengapa bisa begitu? Karena Inggris punya basis jelas yaitu nation Inggris, dan punya kebebasan sendiri untuk melakukannya, tanpa ikatan aturan dari UE. Ini sesuai juga dengan yang pernah dikatakan oleh Anthony DK dalam bukunya culture, Globalization and the World System (1991).

Dia bilang:

To be English is to know yourself in relation to the French, and the hot-blooded Mediterraneans, and the passionate, traumatized Russian soul”.

nationalism

Orang Inggris tidak akan pernah mengerti orang Perancis atau orang Italia atau orang Rusia kalau tidak  mengerti dirinya sendiri sebagai orang dari kultur Inggris. Ini juga semua sesuai dengan politik populer Jokowi sekarang dengan istilah ‘dari pinggiran’ itu, atau  dimulai dari periferi atau kita sering bilang dimulai dari daerah dengan kearifan lokal.

 


[one_fourth]Karo Bukan Batak (KBB)[/one_fourth]
 

Dalam rangka mewujudkan politik periferi ini, gerakan kultur/ politik ‘pinggiran’ atau dari daerah sangat terlihat jelas dalam gerakan KBB. Orang Karo dengan basis kuat kultur dan daerahnya, keluar sebagai champion bikin gerakan politik periferi ‘dari pinggiran’ dalam perjuangan nasional dan internasional demi keadilan bagi setiap kultur dan daerah menuju kepentingan nasional Indonesia dan juga internasional.

Adanya dasar dan basis kultur yang jelas bagi setiap nation/ suku bangsa pastilah bikin semangat dan keyakinan perjuangan yang sangat antusias setiap saat.

 

Kekaroan atau KBB bukan berarti ‘ke dalam’ saja atau gerakan sempit, tetapi supaya lebih aktif keluar karena lebih bebas dan punya landasan jelas/ konkret dan tegas (kultur, identitas dan daerah) yang bikin keyakinan selalu meluap dalam perjuangan nasional dan internasional.

Gerakan ini dimulai ‘dari pinggiran’ kalau pakai istilah presiden Jokowi.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.