Kolom Marx Mahin: BUDAYA DAYAK “ASLI”?

Satu hari di sebuah sanggar tari di Kota Palangka Raya. Terjadi percakapan menarik antara saya dengan seorang ibu yang oleh kaum muda masa kini dikategorikan sebagai Mahmut Basa (Mamah Muda Imut Beranak Satu). “Saya ingin kostum Dayak yang asli”, demikian ucap ibu muda itu dengan serius.

“Saya ingin anak gadis saya menampilkan tarian Dayak yang asli, dengan kostum tari yang asli juga”.

Sebagai pemamah-biak teori-teori kebudayaan (yang terkadang disebut antropolog) dan sekaligus native Dayak, saya agak kebingungan dengan perkataan dan permintaan itu.

Setahu saya budaya Dayak itu dinamis, hasil percampuran berbagai kebudayaan. Mendengar hal itu, dengan spontan saya membuka laptop saya, dan memperlihatkan kepadanya foto-foto para perempuan Dayak hasil jepretan para penjelajah pada akhir abad 19.

Kemudian saya bertanya kepadanya, ”Apakah ibu dan anak perempuan ibu, sungguh-sungguh ingin menari dengan busana Dayak asli ?”

Ibu itu terdiam dan bahkan tidak bisa berbicara apa-apa, karena dalam budaya Dayak asli (lebih tepatnya: budaya Dayak pada zaman nenek moyang), para perempuan Dayak itu topless, no bra alias ngga pake kutang.

Di penghujung percakapan, akhirnya saya mengerti yang dimaksudnya dengan “asli” itu bukanlah dalam artian “pure”; murni tanpa campuran atau original tetapi “primitive looking” yaitu busana Dayak yang tampak eksotis, antik, kuno, vintage atawa primitif.

Busana tari yang memakai kulit kayu, dihiasi dengan manik-manik, bulu burung enggang atau merak, dan asesoris kalung taring babi, tengkorak orangutan dst. tetapi tetap pakai kutang. Dengan demikian ia dan anak perempuannya merasa “asli Dayak”.

Apakah yang “asli” dan “tidak asli” itu? Dari perjumpaan saya dengan seorang ibu di Palangka Raya, tampak bahwa konsep “yang asli” hanyalah tafsiran atas apa yang dialami oleh dan diingat oleh orangtua pada masa lalu.

Dapat dikatakan “yang asli” adalah adalah produk penafsiran dan penafsiran kembali masyarakat itu sendiri atas identitasnya”. Apa yang disebut “asli” pada masa kini itu belum tentu ada pada zaman nenek moyang. Jadi hasil temuan, hasil kreasi, modifikasi bahkan komodifikasi kebudayaan.

Ada banyak yang “tidak asli” namun terasa “asli” dalam keseharian kita, misalnya pohon karet atau gita (Hevea brasiliensis Muell. Arg) adalah berasal dari hutan Amazon, Brazil. Cabe atau lombok (orang Dayak Ngaju menyebutnya “Kambang Bahari” atau Bunga Pedas) berasal dari Bolivia, Amerika Tengah.

Jagung dari Meksiko. Pepaya dari Amerika Latin. Tembakau dari Amerika Utara.

Namun semuanya itu terasa “asli” bagi kita orang Dayak di Kalimantan. Inilah salah satu fenomena unik kebudayaan, yaitu sering terjadi proses pinjam-meminjam kebudayaan. Dalam proses pinjam-meminjam ini kita seringkali lupa “asal-usul barang pinjaman” dan kemudian lama-kelamaan kita akui sebagai milik kita dan memberinya label “asli”.

Dengan kata lain, meminjam tetapi lupa mengembalikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.