Kolom Muhammad Nurdin: ASIAN GAMES 2018, PESTA RAKYAT INDONESIA

Namanya Devi. Saat diwawancarai reporter SCTV, senyum sumringah menghias wajahnya. Ia tampak senang, meski dengan lelah yang berusaha ia sembunyikan. Ia mengatakan bersyukur bisa menjadi bagian dari sejarah Asian Games. Menurutnya, mungkin baru 50 tahun lagi Indonesia bisa jadi tuan rumah lagi.

“Saya tidak tahu apa saya masih hidup,” katanya.

Devi adalah satu dari “sebelas ribu” volunteer Asian Games di Jakarta. Ia dan teman-temannya bangga bisa menjadi “salah satu” sebab pelaksanaan Asian Games sukses besar.

Menjelang penutupan Asian Games hari ini. Suasana di GBK begitu ramainya. Asian Games layaknya pesta rakyat untuk seluruh rakyat Indonesia. Ada sebuah rasa bangga yang amat besar dari mereka yang mulai menyesaki GBK.

Ini tak lepas dari prestasi luar biasa para atlet kita. Berkali-kali “Indonesia Raya” dikumandangkan. Rasa haru menyelimuti setiap kita. Gemuruh menyesaki dada. Bahkan, kita pun tak kuasa menahan titik-titik air yang menggelantung di kelopak mata.

Kadang, kita pun dibuat tak percaya. Kok bisa sampai sejauh ini prestasi atlet-atlet kita, yang kebanyakan dipenuhi oleh anak-anak muda berprestasi. Maka, wajar. Semua ini menyulut euforia sekaligus semangat nasionalisme kita. Bayangkan. Tiket penutupan hanya membutuhkan waktu 24 menit untuk ludes terbeli. Padahal, kata seorang mantan menteri, untuk makan telor ceplok saja ia ngeri.

24 menit merupakan sebuah apresiasi terbaik rakyat Indonesia.

Siang ini, sebuah antrian yang mengular terjadi di GBK. Mereka berebut 75 ribu tiket untuk menonton penutupan Asian Games di luar GBK. Dari tempat-tempat yang jauh, sejak pagi, mereka masih berharap bisa sedikit merasakan aroma kemeriahan Asian Games. Menghirup atmosfir kemenangan yang sama seperti yang dirasakan para atlet kita.

Ingatkah kita saat Anthony Ginting melawan Shi Yuqi di laga final Bulutangkis Beregu Putra? Di detik-detik akhir pertandingan, Ginting tumbang. Ototnya ketarik. Ia tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.

Tapi. Ia bangkit lagi. Skor 20 : 20. Ia masih tertatih-tatih. Terlihat, pertandingan sudah timpang. Sampai akhirnya, Ginting benar-benar tumbang. Tak bisa berdiri lagi. Sakit. Amat sakit bagi Ginting. Ini bukan soal ia harus kalah. Tapi ini tentang ketidakberdayaannya untuk menyelesaikan pertandingan.

Ginting telah menyulut semangat nasionalisme kita. Perjuangannya sampai titik darah penghabisan menyadarkan kita, bahwa butuh kerja keras untuk kedigdayaan Sang Saka Merah Putih.

Kini. Indonesia siap untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Kita berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kita mampu melaksanakan event bertaraf internasional. Kemajuan ini nyata. Sayangnya, politik dalam negeri dengan pesan “pesimis”-nya mengaburkan semuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.