Kolom Muhammad Nurdin: RUPIAH ANJLOK, INDONESIA HANCUR? SITU WARAS?

Empat tahun lebih saya tinggal di NTT. Tidak ada yang murah di sana, kecuali ikan laut. Daya beli orang di sana dengan di ibukota bagai langit dan bumi. Tapi, saya dan masyarakat di sana enjoy aja. Sekitar 2 tahun saya tinggal di sebuah pulau yang bernama Lembata. Dari sekian banyak kabupaten, Lembata cukup jauh tertinggal dibanding daerah-daerah di Flores, apalagi dengan Kupang.

Sungguh kaget saat mau membeli cabe di sana. Rp. 5 ribu, mungkin hanya 10 buah cabe rawit yang merah. Kalau cabe keriting bisa setengahnya.

Dengan kondisi yang demikian, apakah perlu masyarakat demo? Seperti yang dilakukan oleh orang-orang di ibukota, yang beli cabe Rp. 5 ribu bisa pedas-pedasan seharian. Saya rasa tidak. Di NTT, saat saya bawa uang Rp. 100 ribu, bisalah 3 hari untuk keluarga kecil dengan 1 anak. Itu pun sudah standar 4 sehat, 5 kenyang.

Setelah pindah ke ibukota, saya malah bingung mau beli apa. Terlalu murah jika dibandingkan dengan di Timur Indonesia. Ayam Rp. 30 ribu seekor di Jakarta. Sedang di sana Rp. 60 ribu seekor.

Sebuah pasar pagi di Medan

Beli sambelan Rp. 5 ribu cukup sampai malam. Di sana Rp. 5 ribu baru beli cabe. Bumbu dapur Rp. 5 ribu di Jakarta sudah lengkap. Ada kunyit, jahe, lengkuas, salam, sereh. Di NTT, tiap itemnya punya harga masing-masing.

Saya cukup rajin ke pasar. Semenjak kuliah, lalu tugas di NTT, sampai kembali ke Jakarta lagi, pasar seperti tempat tamasya. Bagi saya, juga kebanyakan emak-emak ibu rumah tangga, fluktuasi nilai tukar rupiah atas dolar, itu seperti tukang obat yang nyusup ke dalam pasar. Berisik tapi biarkan saja.

Gak tahu, yah, kalau mereka yang buka warung makan. Naik seribu saja cabe ijo, sudah mulai pening warung-warung Padang se-jakarta dan sekitarnya.

Realitanya, pasar-pasar di ibukota masih kondusif. Bawa uang Rp. 100 ribu masih bisa makan enak. Begitu juga bubur ayam, mie ayam, baso, Batagor, nasi rames, nasi Padang, Warteg, semua masih stabil. Gak segila di Venezuela, makan nasi Padang bisa semilyar bayarnya.

Ingat. Tahun 98 rupiah terjun bebas sampai 600%. Tahun 2007/2008, rupiah anjlok sampai 30%. Di tahun 2013, anjlok sampai 21%. Di tahun-tahun itu, pergi ke pasar masih enjoy aja. Padahal, korupsi gila-gilaan saat itu.

Pusat Pasar Berastagi

Kini rupiah anjlok baru 8-9%, seolah-olah negeri ini mau kiamat. Pasar-pasar mau tutup. Warung-warung Padang akan gulung tikar. Sebuah ironi “jadi-jadian” dinarasikan kelompok sebelah, yang memang gak punya visi-misi dan rekam jejak yang jelas. Sehingga, pertarungan dilakukan dengan cara sekotor ini.

Kemarin, ngomong akan bangun infrastruktur tanpa bebani APBN, tapi Pemprov DKI minta Rp. 11 triliun lagi untuk bangun ibukota. Sekarang, ngomong akan stabilkan rupiah, padahal sekelas Turki saja anjlok sampai 38%. Gimana dolar mau dikendalikan, jika banyak dolar yang mudik ke kampung halamannya? Jadi, bukan cuma rupiah yang terdampak dari keperkasaan dolar.

Sebagai rakyat jelata. Harapan saya sederhana saja. Abang-abang bubur ayam, baso juga mie ayam, jangan coba-coba pake argumen rupiah anjlok buat naekin harga, yah. Saya bisa sangat murka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.