Kolom Muhammad Riza: BULETIN KAFFAH EX-HTI

Edisi 035 kemarin [Jumat 6/4], saya dapat dari Masjid An-Naml Menara Jamsostek lantai 3, Jakarta. Seperti diketahui, buletin Kaffah dikelola oleh orang-orang ex-HTI yang masih bergerilya menyebarkan paham khilafah, termasuk masjid ini juga masih dikelola oleh mereka. Maka sebaiknya gedung-gedung milik pemerintah termasuk instansi BUMN seperti Menara Jamsostek, atau milik BPJS Ketenagakerjaan ini diawasi juga oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI), Kementerian BUMN dan Kementerian Agama RI.

Jika dibiarkan, mereka akan semakin agresif memberikan paham khilafah yang dikhawatirkan memecah belah umat akibat politisasi agama dan tidak sesuai dengan fungsi masjid itu sendiri.







Bisa dilihat faktanya pada isi buletin mereka. Kali ini bertema Isra Mikraj dengan sebagian besar narasi ‘playing-victim’ guna mencari iba dan simpati umat Islam. Setelah menerangkan kisah Nabi Muhammad Saw versi mereka, seperti saat hijrah ke Madinah dimana Nabi mendirikan Negara Islam tanpa menyinggung sedikitpun Piagam Madinah, lalu menyamakan dengan kondisi Jaman Now. Padahal Nabi Muhammad di Yastrib mendirikan Negara Madinah (berarti peradaban) yang masyarakatnya majemuk dengan membuat kalimatun sawa’ (konsensus) nasional, yaitu Piagam Madinah.

Kalau dilihat secara sunnatullah sama seperti founding fathers kita mendirikan republik yang masyarakatnya majemuk ini, dengan Pancasila sebagai kalimatun sawa’.

Jadi benar, persoalan krusial yang dihadapi bangsa kita saat ini adalah masalah pembelokan fungsi agama, sehingga bisa berdampak merugikan umat manusia. Diantaranya adalah politisasi agama, yakni hal-hal yang bersifat sosial-politik dibungkus dengan baju agama untuk mendapatkan legitimasi agama. Kelompok politik seperti HTI yang menggunakan legitimasi agama ini secara faktual memasukkan sentimen agama ke dalam arena kontestasi berkenaan dengan masalah-masalah riil kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, bahkan budaya.

Dalam konteks ini, agama tidak menjadi landasan bertindak (amaliyah), tetapi sebagai alat justifikasi kepentingan. Dengan kata lain, agama sebagai aspirasi, bukan inspirasi. Itulah masalah yang krusial.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi, HAM, yang mereka tentang karena dianggap tidak berasal dari Islam. Juga masalah sekularisme, liberalisme, dan pluralisme? Mari kita lihat penjelasan dari ulama dan tokoh nasional, berikut ini:

– Sekularisme
Dari KH. Said Aqil Siradj menjelaskan bahwa istilah sekularisme muncul pertama kali di Eropa menjelang Revolusi Perancis 1789 M. Saat itu, diantara para filsuf dan ilmuan di satu pihak dan gereja di pihak lain, muncul polarisasi yang cukup tajam. Tidak sedikit para ilmuan yang dijebloskan ke dalam penjara atau dieksekusi karena mempertahankan teori ilmiah yang ditemukan.

Kebekuan ini mendorong mereka untuk memisahkan diri dari gereja. Ini agar eksplorasi intelektual tak mudah dijinakan oleh agama. Kenekatan para ilmuan itu membawa Eropa menelusuri masa pencerahan (Aufklarung), revolusi industri dan modernisasi, sehingga menggapai tingkat kemajuan diantara bangsa-bangsa dunia.




Adalah suatu kecerobohan manakala pemahaman ini kemudian diadopsi mentah-mentah dalam memahami Islam. Berbeda dengan doktrin “gereja”, Islam sejak semula memang memberikan ruang atas sekularisme. Bahkan bisa dikatakan, sekularisme merupakan karakteristik Islam. Corak kehidupan masyarakat majemuk Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw menjadi saksi sejarah untuk itu. Saat itu Nabi Muhammad membedakan antara posisinya sebagai Nabi di satu sisi dan sebagai kepala negara di sisi yang lain.

Piagam Madinah yang menjadi landasan bangunan etika pemerintahan saat itu, sama sekali tak menyebutkan asas Islam. Bahkan dalam satu hadits secara tegas dikatakan: “Antum a’lamu bi umuri dunyakum, Kalian lebih tahu soal urusan duniawi kalian”.‎ Artinya pada wilayah “non-ibadah” semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk merumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. [Prof.Dr.KH. Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Penerbit SAS Foundation dan LTN-PBNU, Cetakan IV – 2012, Hal.170]

– Liberalisme‎
Kebebasan sipil (civil liberties) adalah kebebasan yang tidak boleh dilanggar oleh pemerintah. Antara lain adalah: kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan beragama, kebebasan berekspersi, kebebasan berpikir, kebebasan dari penyiksaan, dan lain-lain. Jadi, kalau percaya prinsip prinsip kebebasan sipil di atas, anda sudah bisa di sebut seorang liberal.

Pasal 28 UUD 45 :
”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pancasila dasar negara kita juga menjunjung nilai-nilai liberal:
Sila ke-2: humanisme
Sila ke-4: demokrasi
Sila ke-5: keadilan sosial

Ketiga prinsip di atas merupakan nilai-nilai dasar liberalisme modern. Rival dari liberalisme misalnya adalah: komunisme dengan sistem satu partai seperti Cina dan Korea Utara, atau monarki absolut seperti Arab Saudi. Jadi ciri-ciri dari liberalisme adalah dihormatinya kebebasan sipil.

Menurut Dawam Rahardjo, liberalisme disini diartikan sebagai paham yang menjunjung kebebasan individu, terutama dari negara. Paham liberalisme inilah yang sebenarnya juga merupakan sumber dari teori tentang masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society). Dengan menjunjung tinggi asas kebebasan individu ini, maka setiap warga negara memiliki hak-hak asasi manusia di segala bidang kehidupan, politik, ekonomi, sosial, dan kultural.




Hak asasi manusia ini harus dilindungi dan diperjuangkan. Kebebasan dan hak-hak asasi manusia ini adalah merupakan fondasi dari demokrasi, karena dengan asas-asas itu setiap warga negara diberi hak pilih dan dipilih [Prof.Dr. M. Dawam Rahardjo, Sekularisme Liberalisme dan Pluralisme, Penerbit Grasindo, Cetakan I – 2010, Hal.XLIII]

– Pluralisme
‎Dari perbedaan suku, ras, golongan, dan agama serta keragaman kepercayaan, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Al-Qur’an (QS. Al-Hujurat, 49:10-12) memberi petunjuk pelaksanaan ukhuwah (persaudaraan) sebagai berikut:
Ayat-ayat tersebut melarang segala bentuk penghinaan.

Larangan itu pada dasarnya adalah merupakan kelanjutan pluralisme, seraya mengisyaratkan, pada intinya bahwa manusia sama-sama tidak mengetahui kelompok pemahaman keagamaan mana yang benar. Manusia adalah makhluk nisbi, sedang kebenaran hakiki hanya diketahui oleh Allah, Dzat yang Mutlak, yang karenanya mustahil diketahui manusia.

Maka, pengetahuan apapun yang ada pada manusia bersifat relatif, sebab mengetahui yang mutlak adalah kontradiksi in terminus. Sampai batas tertentu memang diperbolehkan merasa benar, tetapi pengetahuan itu mesti disertai dengan benefit of doubt. Hal ini merupakan bagian dari tawaduk dalam keberagaman.
Jadi sebenarnya dasar ukhuwah menurut ayat tersebut adalah pluralisme, bukan monolithisme (pandangan bahwa semua orang harus sama dalam sikap dan pikiran) [Prof.Dr. Nurcholish Madjid, Islam Nusantara, Penerbit Mizan, Cetakan I – 2015, Hal.135-136]


Maka jadikan lah agama sebagai sumber inspirasi bukan menjadikan aspirasi. Dimana ajaran Islam pada implementasinya diharapkan menjadi agama yang toleran, inklusif, membawa kebenaran, kebaikan dan kasih-sayang atau singkatnya “rahmat bagi semesta” serta menjadikan watak bangsa yang “berakhlak mulia” seperti diajarkan Nabi Muhammad Saw; “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari).

Jadi dapat disimpulkan, Islam tidak dirancang untuk menjadi sebuah institusi negara seperti khilafah. Kita harus sadar bahwa, jika terjadi politisasi agama, dimana Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik [KH. Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, Pengantar Editor: Musuh Dalam Selimut, Penerbit: GBTI, the Wahid Institute dan Maarif Institute, Cetakan I – 2009, Hal.19]

Dan karena itu pula, pemisahan agama dan negara atau sekularisme, lalu liberalisme, dan pluralisme mutlak bukanlah suatu keniscayaan. Memang, sungguh tidak mudah memahami Islam secara benar.‎ Satu hal lagi, perlu diwaspadai juga adalah dogmatisme, yaitu sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah. Dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Wallahu a’lam bish shawab.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.