Kolom Nisa Alwis: 2 KYAI DI KUIL NARA

Nisa Alwis 14Mungkin kamu tidak mengira jika lelaki yang bersama saya ini adalah Kyai. Punya pesantren besar, di Papua dan Makassar. Sepuluh hari bersama-sama, saya banyak menyimak dan belajar dari keduanya. Mereka fanatik? Tidak.

Lihat saja penampilannya. Begitu pun cara pandangnya tentang dunia.

AGAMA adalah jalan, tujuannya kebaikan. Kamu ke Jakarta mau lewat jalan mana? Jika dari Lampung bisa dengan kapal menyeberang, bisa juga pakai pesawat terbang. Kalau dari Bandung, ya lewat Puncak atau Cipularang. Agama sebagai jalan, tidak hanya satu. Yang kamu jalani, itu jalanmu.

Keragaman manusia dan cara hidupnya justru harus disyukuri. Kita jadi bisa saling belajar dan saling mengisi. Agama bisa jadi dinding yang angkuh di hati, aku benar kamu salah. Itu bahayanya.

Agama dan Tuhan harusnya ada untuk keseimbangan diri. Agar dalam hidup punya nurani dan penghargaan kemanusiaan yang tinggi. Sebagian penceramah ada yang keras nadanya, keras isinya. Menghujat, menakut-nakuti, teriak, mengajarkan benci, main hakim sendiri. Sedihnya, yang begini malah punya nama, jadi idola. Diundang ke mana-mana. Tua muda terpesona. Takbir dan jihad berkobar. Padahal itu emosi yang diumbar, menyebar gusar.

Jemaah pulang mungkin senang, tapi bukan dengan hati tenang. “Suul-khuluqi yu’dy” akhlak yang buruk menular. Apalagi jika yang suul-khuluq adalah ulama, rusaklah umatnya. Akan ada epidemik mental menular, dengan laju lebih cepat dari perkiraan wajar.

Sampai di situ, tiada guna agama bila justru jadi saluran kemarahan, bukan pancaran keramahan.

“Semua yang berlebihan bisa menyebabkan celaka, termasuk beragama,” begitu antara lain obrolan gentlemen ini dengan saya. Dua kyai penjaga negeri, yang untuk sesaat di Kuil Nara rela jadi bodyguard saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.