Kolom Nisa Alwis: LIQO

Ikutan hadir di suatu LIQO, saya mendengar dan mencatat sisipan bahasan judgmental tentang beberapa hal ini: ‘ulama berilmu dalam tapi hubudunya’, ‘presiden boneka’, ‘investasi dana haji pertanda hati pemerintah kotor’, ‘pemerintah zolim menipu Allah, ingin membuat kerusakan tapi mereka tidak sadar’, ‘hizbusyaithon vs hizbullah’, ‘jangan masuk UIN jika basic agama kurang, banyak syiah dan liberalnya’, sampai tentang isu KPop Korea (padahal sudah ada klarifikasinya).

Itu sudut pandang seorang ‘murobbi’ yang rutin mengisi jadwal liqo ibu-ibu sebuah komplek elite di Tangsel. Saya salut pada semangat mereka. Tapi terkejut dengan materi yang disampaikan, seperti gosip murahan.




Ini berdampak bagi jamaah awam yang biasa sami’na wa atho’na, mendengar lalu mentaati. Murobbi tentu sudah belajar lebih dahulu, tapi saya perhatikan ia melafalkan makhroj ‘zai’ dan ‘jim’ saja tertukar. Pencerahan spiritual apa yang bisa didapat bila pengajaran agama dipenuhi sentimen kelompok, tanpa kearifan konteks dan tanpa kebenaran fakta?

Saya duduk di sana hari ini tidak untuk mendebatnya, hanya punya satu pertanyaan: “Do you know what are you talking about…” itu pun di hati saja. Jika saya tulis refleksi ini dalam status tujuannya untuk pembelajaran. Karena LIQO sedang menjadi trend metode dakwah saat ini. Teman-teman saya, tetangga, dan banyak sahabat aktifis LIQO tentu dapat mengambil intisari kebaikan di sana. Antara lain silaturahmi yang hangat. Namun juga sangat perlu untuk tetap kritis mencerna bahasan yang mungkin tidak fair, tidak mendalam.

Jika anda murobbi, bagaimanakah supaya pengetahuan yang sampai pada jamaah melahirkan kearifan, ketenangan dan optimisme. Bila pengajian agama justru membuat umat jadi tertutup pada kenyataan dunia, melahirkan bibit kebencian pada negara, pasti di sana ada yang salah. Saya menjadi saksi teman aktifis LIQO saat sakit mencari RS yang tidak banyak dokter Cinanya.

Itu sikap yang naif. Apakah jika harus transfusi darah dia bertanya dulu ini darah orang Cina apa bukan? Ini darah siapa agamanya apa. Kan tidak! Tak ada esensinya juga. Sentimen ini sudah berlebihan. Terutama sejak propaganda politik DKI. Padahal perbedaan SUKU RAS DAN AGAMA mestinya sudah lama ditinggalkan. Itu jika kita ingin hidup maju di jaman yang maju.

‘Al imanu yazidu wa yanqush’, kutip murobbi. Saya berharap semangat meningkatkan iman itu berupa motivasi untuk muhasabah diri, internalisasi. Bukan membuat dinding ‘kita’ dan ‘mereka’. Itu jebakan perasaan soleh sendiri yang bisa jadi bentuk keangkuhan hati. Bukankah iman juga kerelaan pada sunnatullah, bahwa manusia diciptakan Allah berbeda suku dan rasnya untuk saling kenal dan saling memahami. Mana di antara manusia yang lebih takwa itu wilayah Allah yang mengetahuinya.

Wallahu a’lam.











Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.