Kolom Nisa Alwis: MENIRU SUATU KAUM

Saling tiru, adalah bagian dari cara manusia belajar. Peradaban bisa seperti sekarang berkat proses tiru-meniru. Di sana ada pertaruhan baik buruk, manfaat mudharat. Tirulah kehebatan Firaun mengatasi pengangguran rakyatnya, meski kita tidak membuat pyramida. Tapi jangan tiru Firaun yang simbol keangkuhan, menuhankan diri dan kedigdayaan.

Banyak ulama menyatakan hadits yang sering dikutip “man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum” itu lemah. Namun sebagian ustadz masih menggunakannya sebagai dalil untuk konteks kehidupan yang sangat parsial. Jika anda berfikir kritis, pelarangan tertentu terkesan lucu dan rancu. Eh, belum-belum anda sudah kena. Tau berfikir kritis tradisi kaum apa? 







‘Selamat hari ibu’ dilarang karena katanya tradisi Barat. Padahal, kita bisa berfikir fair dan sederhana saja. Manusia itu butuh momentum, lalu membangun kesan dan makna di dalamnya. Seorang ibu yang sudah biasa berjerih payah tahu-tahu dimanjakan sedikit saja di suatu hari. Itu kan bagus. Entah tahun ini momentumnya pas atau tidak, tapi mungkin suatu saat anak-anaknya bisa. Negara memfasilitasi, memperingati ini sebagai hal spesial di kalender tahunan nasional. Masa yang begini dilarang sih ustadz. Hee… Sekali-sekali protes.

Begitu pun trompet, musik, patung, foto, lukisan, dll dilarang. Katanya karena tradisi Yahudi dan kaum kafir. Lupa atau tidak tahu, bahwa kubah masjid itu mulanya tradisi arsitektur gereja Aya Sophia, baju koko itu dari Tionghoa, sarung aslinya India. Kuda dan unta kini jadi Rubicon dan Boeing, buatan siapa? Vaksin dilarang, karena purbasangka. Statemen ilmiah dokter tak dipercaya, sampai diftheri menyebar sangat bahaya.

Harus diakui ada yang menohok dalam lagu dangdut satu ini: Sayang opo kowe krungu, jerite atiku. Berharap engkau kembali…

Seorang teman yang jago bikin keik sampai tak mau lagi mengerjakan kue tart, atau orderan untuk Ultah. Karena baru ikut pengajian dan ustadnya katakan ulang tahun itu haram. Ia juga galau dan berhenti arisan, karena ustadnya bilang arisan haram. Belum selesai. Ia sangat bingung karena suaminya pegawai bank. Kata ustadnya harus segera berhenti bekerja di lembaga riba. Ia juga berhenti dari profesi merias. Tiba-tiba saja semua jadi sempit dan complicated dalam hidupnya.

“Mba, make it simple,” saya bilang.

Apa daya, ideologi hijrah dari sang ustad membiusnya. Sebentar lagi ia malah pasrah mau bercadar saja. Padahal cadar itu tradisi ortodoks Yahudi, sayang. Mungkin itu caranya bahagia. Tapi entah kenapa saya jadi berduka. Man tasyabbaha… Berputar-putar seperti ular naga




Ah! Tentunya tidak ada yang melarang sekolah, ya. Walau anak anda diajari calistung Latin ABCD 1234 di sana. Tidak ada yang melarang pelajaran bahasa Inggris, walau itu bahasa kafir. Belum dengar ada boikot ekskul taekwondo, walau memanah lagi booming-boomingnya. Saudi pernah mengharamkan yoga, kini tidak lagi. Boleh!! Tidak ada juga yang mengharamkan perempuan pakai beha, yang asalnya dari Prancis dan Jerman. Betapa lenturnya Islam: al-ashlu fil amri al ibahah. Illa ma dalladdalilu ‘ala khilafihi.

Semua aslinya BOLEH, kecuali ada dalil yang melarangnya. Kaum-kaum berbeda Allah ciptakan untuk saling mengenal dan berlomba dalam kebaikan. Bukan untuk saling larang meniru, kawan. Hidup ini dalam GusDur yang super satir: gitu aja ko repot. Anda yang maju silahkan maju, ajak saya. Yang mundur silahkan mundur sendiri saja. Yakinlah maju mundur cantikkk…

Have a great Christmas, and happy New Year.

FOTO HEADER: Humaira








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.